Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Aie Angek

Aie Angek
D. Zawawi Imron
[Minggu, 28 Desember 2008]

Di jalan menanjak antara Padangpanjang-Bukittinggi, Sumatra Barat, saya dan novelis Ahmad Tohari menjadi sastrawan tamu selama satu bulan di Rumah Puisi yang didirikan penyair Taufiq Ismail dan istrinya, Ati Ismail. Sampai hari ini saya telah sepuluh hari berada di antara Gunung Singgalang dan Gunung Merapi, tempat kabut dan hawa dingin menyelimuti kami setiap hari. Tempat kami selalu disapa desir daun-daun bambu, dan di depan sana ada petani-petani sayur yang tekun memakmurkan bumi.

Kami berdua benar-benar berada di tempat yang indah. Memandang ke Gunung Singgalang yang gagah, di kakinya tampak nagari Pandai Sikek, tempat orang Minangkabau menenun kain songket yang indah. Bahkan azan subuh di desa itu bagai diantar angin ke Rumah Puisi.

Sedangkan memandang ke Gunung Merapi tampak sawah-sawah yang bertingkat-tingkat dan rumah-rumah para petani yang kalau malam hari lampu-lampunya berkelap-kelip mewakili bintang-bintang yang selalu ditutupi awan. Inilah wilayah yang selalu dilewati Hamka, Marah Rusli, Noer Sutan Iskandar. Haji Agus Salim, Muhamamd Yamin, Muhammad Hatta, Rasuna Said, Rohana Kudus, Tan Malaka, seratus tahun yang lalu. Saya dan Ahmad Tohari seperti menapaktilasi kelincahan masa kecil mereka yang cerdas, berpikir lincah, dan tidak mudah menyerah, sehingga namanya sampai sekarang tetap dibaca oleh sejarah dan jadi kenangan yang mengesankan.

Rumah Puisi sendiri adalah bangunan berbentuk sanggar, ada perpustakaan dengan 7.000 buku, ada ruang pelatihan untuk guru-guru sastra sekaligus ruang berdialog tentang puisi, sastra, dan yang berkaitan dengan dunia tulis-menulis. Jadi, istilah ''rumah puisi'' di sini tidak hanya untuk kegiatan perpuisian saja, tapi untuk seluruh yang berkaitan dengan sastra. Pinjam istilah Taufiq Ismail, ''puisi'' di sini menjadi kata sifat: bersama dan payung dari seluruh karya sastra.

Yang telah berlangsung selama sepuluh hari kami di sana adalah pelatihan guru bahasa dan sastra Indonesia. Kegiatan ini telah dilakukan oleh Taufiq Ismail dan para sastrawan untuk duduk bersama para guru sastra. Bagaimana mengajar sastra yang menarik kepada anak didik, bagaimana menumbuhkan minat baca dan memotivasi anak-anak untuk senang menulis.

Kegiatan yang lain ialah apresiasi sastra siswa, agar anak didik bisa menyenangi karya sastra, bisa mengapresiasi dengan baik, bahkan menumbuhkan minat menulis agar mereka menjadi generasi penerus dalam perkembangan sastra Indonesia.

Apa yang dilakukan Taufiq Ismail selama kurang lebih 10 tahun terakhir berkeliling Indonesia memasyarakatkan sastra itu sekarang coba dicarikan tempat yang permanen. Upaya ini untuk lebih memberi harkat kepada sastra karena sastra sesungguhnya menjadi salah satu ruh dari tulang punggung kebudayaan. Kegiatan yang telah berlangsung di Rumah Puisi benar-benar mendapat sambutan hangat dari guru-guru sastra dan para siswa penggemar sastra. Mereka berdatangan dari seluruh Sumatra Barat untuk bertemu sastrawan-sastrawan, membaca puisi, menceritakan proses kreatifnya. Bagaimana riwayat perjuangannya serta liku-liku hidupnya sehingga menjadi sastrawan. Kemudian guru-guru sastra atau siswa, bertanya tentang puisi, novel, dan kiat menjadi penulis atau sastrawan.

Suasana sengaja dibuat akrab, sehingga tidak terkesan sebagai sebuah pelatihan, karena sastrawan yang tampil tidak berpretensi sebagai pengajar atau penatar. Bahkan kegiatan untuk para siswa pun dikemas dalam suasana penuh persahabatan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.

Selebihnya, sebagai sastrawan tamu, saya dan Ahmad Tohari, dipersilahkan untuk berkeliling Sumatra Barat, berintegrasi dengan masyarakat, mengunjungi tempat lahir Buya Hamka, Bung Hatta, Haji Agus Salim, dan lain-lain, dan kemudian menuliskannya.

Saya dan Ahmad Tohari diundang ke Ranah Minang, merasa mendapat kehormatan. Kegiatan sastra yang kami lakukan selama ini telah mengantarkan kami ke wilayah Indonesia yang indah, dengan keramahan Danau Singkarak dan Danau Maninjau, serta Istana Pagaruyung yang legendaris.

Tak mungkin kami lupakan bahwa kami telah menjadi tamu di jantung puisi Ranah Minang, di sebuah desa bernama Aie Angek. (*)

Memihak Kehidupan
Di Rumah Puisi, di tengah alam tanah Minang yang permai, saya merenungkan adagium Minangkabau yang berbunyi: alam takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru). Alam memang terkembang. Terhampar. Kenapa dijadikan guru? Bukankah manusia lebih mulia dari alam?

Dipikir dan direnung, saya teringat bahwa dalam penciptaan langit dan bumi serta perkisaran siang dan malam adalah ayat-ayat (tanda-tanda kebesaran) Allah. Kalau alam ini adalah ayat-ayat Tuhan, tentu saja manusia yang ingin mengambil manfaat dari alam harus rajin dan tekun membaca ayat-ayat Allah itu. Istilah ''membaca'' di sini bisa dimaknai mempelajari, meneliti, atau bereksperimen tentang benda-benda, flora, fauna, yang ada di alam. Karena semua kebutuhan hidup manusia itu tersedia di alam, maka manusia harus bersahabat dengan alam. Jadi, manusia bersekolah dan belajar di perguruan tinggi tidak lain belajar ''membaca'' alam dalam pengertian yang seluas-luasnya.

Sejak kapan orang Minangkabau mencetuskan kearifan alam takambang jadi guru? Tak ada keterangan yang jelas. Yang jelas, manusia yang mencetuskan itu adalah seorang yang cerdas dan arif. Dengan demikian, manusia yang membaca alam dengan ilmu pertanian akan mampu menyemarakkan bumi dengan bercocok tanam sehingga akan memakmurkan bumi. Yang membaca laut dengan ilmu kelautan akan mampu mengarungi samudera serta menangkap ikan di laut untuk menjadi santapan bangsanya. Selanjutnya ada orang yang menanam kapas, di pihak lain ada yang memintal kapas menjadi beanng dan kemudian ditenun untuk dijadikan pakaian agar manusia tidak telanjang.

Semua kegiatan kehidupan itu karena alam yang terkembang dijadikan guru. Adagium Minangkabau tersebut bisa dimasukkan kepada kearifan tradisi. Meskipun itu warisan lama, tetapi masih relevan dengan kehidupan sekarang. Orang pergi ke bulan dan ke planet-planet lain juga merupakan upaya mengejar alam yang terkembang, dan terkembang untuk dipelajari dan diteliti.

Yang menarik dari kearifan ini, ia bisa menjadi alasan bahwa tidak setiap adagium lama itu rapuh dan tidak sesuai dengan kehidupan masa kini. Ternyata masih ada kearifan tua --kalau kita berpikir dengan akal sehat-- yang tak lekang de' panas dan tak lapuk de' hujan.

Contoh lain dalam membaca dan menghargai alam, misalnya, ada adagium Jawa yang berbunyi memayu hayuning bhawana, ''memperindah kecantikan alam'', sebagai tugas manusia di bumi. Alam yang dirias dengan aneka macam tanaman, lebih-lebih tanaman produktif, akan membuat bumi itu indah dengan kesuburan dan kemakmuran. Yang tersirat pada kearifan itu, manusia harus bersahabat dengan alam. Kalau alam itu ditanami, kemudian tanaman itu disiangi dan dipupuk dengan rajin dan cinta, alam akan membalas dengan panen yang melimpah, atau kemakmuran yang akan membuat alam dan manusia tersenyum dalam persahabatan yang hakiki. Persahabatan yang bukan hanya ideal di dalam hati dan dalam nyanyian, tetapi persahabatan dalam bentuk nyata yang membuahkan kesejahteraan yang konkret.

Penghargaan manusia kepada alam dan tumbuh-tumbuhan tidak lain adalah penghormatan terhadap hidup, karena manusia yang hidup harus menghormati semua yang hidup. Penghargaan terhadap tumbuh-tumbuhan yang menyuburkan bisa kita lihat pada relief Candi Borobudur. Aneka macam flora bisa disaksikan di situ melengkapi kehadiran manusia.

Pada dunia Arab yang tanahnya didominasi padang pasir, lahir ornamen arabesque yang ditandai dengan flora berupa sulur-sulur lengkap dengan variasi daun dan bunga yang beraneka ragam coraknya. Pada bagian lukisan klasik Tiongkok, kita temukan sebatang bambu lengkap dengan ranting dan daunnya yang tertiup angin. Dalam tiupan angin yang kencang itu batang bambu tampak melengkung, tetapi tidak patah karena hidup harus dipertahankan, meskipun ujian datang bertubi-tubi.

Begitulah sebagian besar karya seni, sejak dahulu kala menunjukkan kecintaannya dan keperpihakannya kepada semua yang hidup lewat berbagai isyarat dan metafora. Hal itu menjadi pertanda bahwa sejak kemanusiaan dan akal sehat berkembang, manusia punya rasa cinta dan keperpihakan terhadap hidup dan alam lingkungan. Hal inilah yang sangat penting untuk dikaji dan dihidupkan kembali sekarang, di tengah-tengah perusakan lingkungan, pembalakan liar, pencemaran laut, dan lain-lain. Alam yang dicederai dan dirusak tidak mau bersahabat dengan kita. Merebaknya banjir, rusaknya ozon, semburan lumpur, rusaknya habitat fauna di hutan dan lain-lain, menjadi sejenis sinyal bahwa alam sudah tidak ramah lagi kepada kita, dan itu karena ulah kita sendiri.

Penghormatan dan keperpihakan kepada hidup juga menghargai jiwa dan nyawa manusia. Adanya kerusuhan, penjarahan, dan perang yang membunuh banyak manusia, menunjukkan tidak adanya penghormatan dan keperpihakan terhadap hidup. Jadi, manusia yang suka berperang untuk kemenangan, tidak untuk membela kebenaran, kemerdekaan, dan keadilan, sebenarnya yang diperangi adalah kemanusiaan itu sendiri. (*)

PERANG
[JP Online Minggu, 25 Januari 2009]
Dalam sebuah tayangan televisi, saya pernah menyaksikan seekor kijang yang dikejar beberapa ekor harimau di atas padang sabana yang sangat luas. Kijang yang akan dimangsa itu lari sekencang-kencangnya, agar selamat. Tapi si predator tidak kalah kencang. Mungkin karena dipacu oleh kelaparan akhirnya salah seekor harimau itu berhasil menerkam si kijang. Dalam waktu beberapa menit saja tubuh kijang itu sudah tidak bernyawa.

Saya merasa ngeri melihat kekerasan yang terjadi dalam dunia kebinatangan. Meskipun, hal yang demikian itu mungkin bisa dianggap wajar karena akal dan perasaan binatang tidak lengkap dan sempurna seperti manusia. Binatang tidak punya belas dan kasih sayang sebagaimana dimiliki oleh manusia.

Tetapi, setelah melihat kenyataan, kekerasan yang dilakukan harimau terhadap kijang atau yang dilakukan burung elang terhadap puyuh dan kelinci, ternyata ada yang lebih ganas lagi. Perhatikan film The Killing Filds yang dibintangi Dip Pranh pada 1980-an. Film itu menceritakan pembantaian besar-besaran ketika terjadi perang antara tentara Amerika dengan pejuang Vietnam. Nyawa manusia sudah dianggap tidak berharga dan darah anak cucu Adam menjadi sejenis sampah. Sungguh mengerikan!

Pelaku kekerasan yang disebut ''perang'' itu tidak lain adalah manusia, makhluk yang secara budaya dianggap punya pikiran cerdas dan perasaan yang mendalam. Pada akhir 1970-an, setelah saya membaca buku-buku tentang filsafat, budaya, dan aneka majalah, saya pikir tidak akan ada perang lagi di dunia ini. Saya yakin, dengan ilmu pengetahuan yang semakin maju dan modern, manusia pasti akan dipandu oleh ilmu dan akal sehatnya untuk menghentikan kebiadaban yang disebut perang. Nyatanya tidak. Ilmu pengetahuan tentang hidup dan kemanusiaan tidak sepenuhnya bisa menyetop perang. Bahkan senjata canggih, mulai senapan mesin sampai bom pemusnah masal masih juga dibuat orang. Negara��-negara maju masih terus menggalakkan pabrik senjata baik untuk dipakai sendiri maupun untuk dijual kepada negara-negara yang siap untuk berperang.

Hal ini bisa menjadi catatan bahwa istilah ''maju'' bagi suatu bangsa atau negara lebih berorientasi kepada kemajuan fisik atau kemakmuran material saja. Kalau istilah maju itu diorientasikan pada peningkatan martabat kemanusiaan yang oleh orang Barat disebut ''humanisme'', tentu saja perang tidak terus berlangsung sampai sekarang.

Orang yang memihak kepada nurani kemanusiaan, pasti akan merasa ngeri melihat korban-korban perang, baik yang sudah mati maupun yang terluka. Bisa dibayangkan ngerinya perang. Rakyat sipil yang tidak tahu persoalan tiba-tiba kena letusan bom sehingga salah satu anggota tubuhnya hilang untuk selamanya. Atau seorang anak kecil yang belum berumur 10 tahun, harus kehilangan ibu tercinta di samping ia sendiri harus terbaring di rumah sakit karena salah satu kakinya buntung. Ribuan orang dan anak-anak harus menderita akibat kekerasan dan keganasan manusia. Inilah homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.

Kerja kebudayaan antara lain adalah menanamkan rasa percaya kepada kemanusiaan. Tapi, bagaimana orang percaya kepada kemanusiaan, kalau perang terus berlangsung dan itu dikomando oleh orang-orang cerdik pandai. Bahkan PBB pun tak terlalu didengar oleh para pelaku perang. Pada 1970-an penyair Taufiq Ismail membuat pepatah petitih baru untuk mencermati persidangan PBB.

Duduk sama rendah
Berdiri lain-lain tingginya

Taufiq seperti menggugat ''hak veto'' dalam persidangan PBB yang dirasakan kurang demokratis. Tidak mustahil beberapa persidangan masalah perang di PBB kadang jauh dari rasa keadilan.

Perang biasanya ditentukan oleh pemimpin tertinggi dalam satu negara. Kalau seorang kepala negara berjiwa lembut seperti Mahatma Gandhi, barangkali tak begitu banyak terjadi penyerangan terhadap negeri lain. Jiwa Gandhi adalah ''kemanusiaan" yang mengutamakan cinta kasih. Manusia tidak boleh menjadi serigala bagi manusia lainnya. (*)



Salam Persahabatan
ParaDIsE.group

Bintang Bethlehem

Bintang Bethlehem
Oleh Danarto
[Minggu, 28 Desember 2008]

Di sebuah bukit kapur yang di sana sini ditumbuhi pohon kurma di Kota Jericho, Palestina, tiga orang anak tampak menghentikan permainannya secara mendadak yang semula ketiganya saling berkejaran. Ketiga anak itu, masing-masing sekitar 12 tahun usianya, menatap ke angkasa. Ada sesuatu di langit yang terlalu menarik untuk tidak diperhatikan. Sebuah benda yang luar biasa besarnya, persis bongkahan batu raksasa, warna emas dibalut oranye, sedang melayang pelan dari arah timur menuju ke barat. Sebuah bongkahan cahaya yang lebih cemerlang daripada sinar matahari.

Bongkahan batu raksasa yang berkilau-kilau bagai permukaan danau yang memancarkan cahayanya dengan pekat itu -kadang cahaya itu meleleh lurus menghunjam bumi- menarik ketiga anak itu untuk mengikutinya. Ketiga anak itu, siapa pun namanya, marilah kita sebut saja: Aaron, Alan, dan Ahmed, sambil mendongakkan kepalanya terus-menerus, menatap bongkahan itu yang rasanya bisa digapai tangan. Sering mereka -karena mendongak terus- terjatuh karena tersandung. Ketiganya bangkit, lalu bergerak tanpa berucap sepatah pun mengikuti benda yang melayang lamban itu, entah dari mana asalnya dan entah mau ke mana.

Bukit kapur campur pasir. Bukit lengang kadang disapu angin kencang. Bukit kapur bukit ilalang, tumbuhan kurma, rumput, dan senyap panas. Bukit tanpa setetes air minum, tanpa secuil makanan, tanpa setangkup atap, kadang ditumbuhi kebun pisang (benar itu kebun pisang?). Tentara-tentara Palestina yang berjaga dalam tenda dengan persenjataan seadanya terus-menerus belajar untuk memerintah. Satu saat waktu itu pasti datang, di mana tentara-tentara Palestina sangat sibuk dengan satu pemerintahan, Republik Palestina.

Semuanya mendorong untuk bersyukur (tanah gersang, angin panas, kawasan yang sepi, dunia yang tak nyaman), bahkan militer Israel yang dihadapi secara frontal tanpa sengaja dapat memberikan jalan keluar meski berbahaya ketika sarapan, ketika rapat di siang, ketika istirahat pukul 15.00, ketika tidur malam (apakah ada dunia tandingan bagi dunia Palestina yang demikian?).

***

Pertempuran yang meletus secara sporadis antara militer Israel melawan gerilyawan Palestina yang terjadi di Jalur Gaza, Tepi Barat, maupun di Hebron ataupun Jericho sudah dapat diduga hasilnya: perdamaian antara kedua kekuatan itu semakin menjauh. Justru di saat keduanya sangat bersemangat untuk berunding menyambut perdamaian, saat itu juga meletus pertempuran.

Pemerintah Israel dengan Fatah maupun Hamas di satu pihak, lalu pemerintah Israel dengan para gerilyawan Palestina yang terdiri dari berbagai faksi di lain pihak, di samping Hamas dengan Fatah di meja yang terbelah, menghasilkan halaman yang carut-marut karena ketumpahan tinta sehingga butir-butir kesepakatan terhapus oleh guyuran cairan hitam itu, tanda cinta pada Tanah Air yang satu.

Namun, diam-diam semangat untuk membangun perdamaian abadi juga muncul dari warga kebanyakan dari keduanya. Karena sudah jenuh terhadap pertikaian yang tak kunjung padam yang berlangsung puluhan tahun dan menyadari bahwa Israel maupun Palestina sebenarnya bersaudara adalah mustahil tak bisa dirukunkan, mereka pun bekerja keras menggiring siapa saja ke meja perundingan.

Selalu saja terjadi letusan rentetan tembakan dan bom yang meledak yang menyebabkan semua rencana perdamaian itu berantakan. Ketika semua kekuatan bersiaga di lubang perlindungan dengan persenjataan yang paling piawai, mendadak muncul ketiga anak itu melintas di hadapan peperangan yang memerah.

''Apa kita habisi saja ketiga anak itu?'' bisik seorang serdadu Israel kepada temannya di lubang perlindungan.

''Misi apa yang diemban oleh ketiga anak itu?'' bisik seorang gerilyawan Palestina kepada temannya dari balik gundukan tanah cadas tempat persembunyiannya.

''Lihatlah ke atas!'' serunya, ''Apakah itu pesawat tempur mutakhir Israel?''

''Apakah itu bomber eksperimen Hizbullah?'' seru serdadu Israel sambil menunjuk ke atas.

Semua terbengong-bengong menatap bongkahan raksasa yang cemlorong itu. Para serdadu Israel, para gerilyawan Palestina, kelompok Fatah, kelompok Hamas, gerilyawan Hizbullah, dan semua kelompok gerilyawan perlawanan terhadap pemerintah Israel. Benda apakah itu? Dari mana? Mau ke mana? Siapa yang membuatnya?

Tiba-tiba lima pesawat jet mutakhir Israel menghambur sambil memuntahkan roket-roket peluru ke bongkahan batu yang berbinar-binar itu, namun semua tembakan itu hanya mengenai udara hampa. Bagaimana mungkin cahaya bisa ditembak?

***

Justru bila roket-roket peluru itu mengejar pesawat-pesawat tempur itu, suatu bumerang. Dengan susah-payah, lima jet itu menghancurkan sepuluh roket pelurunya sendiri disertai omelan para pilotnya.

Di tempat persembunyian masing-masing, para serdadu Israel dan para gerilyawan Palestina bersorak menyaksikan peristiwa itu.

''Jet-jet yang bodoh!'' seru serdadu-serdadu Israel mengolok-olok teman-temannya.

''Pilot-pilot buta huruf Tel Aviv,'' seru para gerilyawan Palestina terbahak.

Dan, tiga anak itu terkaget-kaget mendengar ledakan beruntun di angkasa. Ketiganya terus melintas tanpa peduli apa yang sedang mengepungnya. Lalu, tembakan-tembakan berdesingan dan ketiga anak itu bertiarap. Mereka saling toleh penuh tanya.

''Kita ditembak,'' kata Aaron.

''Siapa yang menembak?'' tanya Alan.

''Hantu,'' kata Ahmed.

Lalu, ketiganya berlari terus mengikuti bongkahan raksasa itu supaya tidak ketinggalan sambil merunduk menghindari kemungkinan terjangan peluru-puluru yang beruntun.

''Tiga anak itu memang bandel!'' seru seorang serdadu Israel sambil melepaskan tembakan-tembakan lewat senapan teropong.

Tapi, tak satu pun dari ketiga anak itu yang roboh, padahal tidak ada satu pun sasaran yang bisa lolos dari senapan teropong. Serdadu Israel itu penasaran. Ia lepaskan tembakan lagi dan ketiga anak itu tetap berlari. Serdadu-serdadu Israel itu terheran-heran.

''Anak-anak ajaib!'' seru serdadu Israel itu.

''Jangan ganggu tiga anak itu,'' kata seorang gerilyawan Palestina kepada temannya di gua persembunyiannya.

''Kenapa?'' tanya yang lain.

''Pokoknya, jangan ganggu.''

''Aku ingin dengar alasannya.''

Presiden Israel, presiden Palestina, presiden Mesir, presiden Syria, presiden Lebanon, presiden Jordania saling bertanya tentang benda angkasa itu. Pesawat-pesawat jet tempur Amerika dari kapal destroyer Dwight Eisenhower yang menyandar di Laut Merah melakukan manuver-manuver sedekat mungkin dengan bongkahan raksasa yang mencorong itu. Pentagon kirim pertanyaan kepada Mossad.

Sementara itu, benda angkasa yang tak bisa diidentifikasi itu terus melayang ke arah barat. Sering ketiga anak itu menampung lelehan-lelehan cahaya dari benda itu.

***

Dari telapak tangan ketiga anak itu, berpendar-pendar cahaya selaksa yang kemudian ditiupnya sampai kabur ke udara, melayang-layang naik turun ditiup angin yang membawanya pergi menjauh. Bercampur awan, menyelinap hilang dan menyembul kembali, melabur dinding-dinding awan itu dengan warna-warni seperti kebiasaan ketiga anak itu mencorat-coret dinding pembatas yang dibangun pemerintah Israel untuk memisahkan tanah Israel dengan kawasan Palestina.

Seluruh penerbangan yang datang dan pergi di Bandara Ben Gueron, Israel, ditutup. Bandara akan dibuka kembali setelah benda angkasa yang entah itu diketahui. Benda angkasa itu akhirnya menyeberang di atas Laut Tengah dan dua belas pesawat jet tempur Amerika dan Israel kehilangan jejak. Pasukan khusus Amerika dan Israel yang mengejar ketiga anak itu tak mampu menemukannya. Entah ke mana anak-anak itu mengembara yang kedatangannya kembali sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga masing-masing.***

Tangerang, 28 Oktober 2008
Cerpen Danarto


Salam Persahabatan
ParaDIsE.group

Bayang-Bayang Tujuh

Bayang-Bayang Tujuh
[Minggu, 04 Januari 2009]

Dalam sekali helaan napas, riuh sorak-sorai para petaruh yang berdiri di sekeliling lingkar arena sabung ayam di lereng Bukit Limbuku tiba-tiba terhenyak dalam hening. Orang-orang seperti dihadang kegamangan. Tiada hirau lagi para petaruh itu pada kibasan dan kelebat kaki-kaki bertaji dalam tarung Jalak Itam dan Kurik Bulu yang tengah berlaga begitu sengit hingga jambul kedua jago turunan Bangkok itu bergelimang darah. Semua mata seolah terisap ke dalam pancaran mata bengis Langkisau yang sedang mengamuk. Ia baru saja menghajar lelaki tanggung yang tampaknya orang baru di kalangan para petaruh.

Melihat raut mukanya yang begitu teduh, hampir bisa dipastikan ia bukan penggila judi sabung yang tengah menunggu kokok kemenangan Jalak Itam dan keok kekalahan Kurik Bulu, atau sebaliknya. Menurut penuturan seorang pejudi, ia guru ngaji yang sedang memantau kalau-kalau ada di antara murid-muridnya yang ikut-ikutan menonton permainan itu. Bila ada murid yang tertangkap tangan sedang berada di arena judi sabung, guru muda itu akan menyeretnya turun. Di surau ia akan beroleh hukuman sepadan. Biasanya, telapak tangan si murid dicambuk dengan rotan, berkali-kali, tak henti-henti, dari selepas Magrib hingga tiba waktu Isya.

Begitu menginjak tanah lereng Bukit Limbuku, ia berjalan mengendap-endap di sela-sela kerumunan para petaruh yang sedang berdebar-debar, cemas kalau-kalau jagoan mereka tumbang, dan segepok uang taruhan tentu bakal melayang. Pada saat yang sama, Langkisau sedang sibuk mengumpulkan taruhan. Tanpa disengaja, guru muda itu melangkahi bayang-bayang tubuh Langkisau. Telapak kakinya menginjak bayangan kepala Langkisau. Perlu ditegaskan, ia tidak melangkahi kepala Langkisau, hanya melangkahi bayang-bayangnya. Tapi, itu sudah melanggar pantangan. Langkisau menyeringai, menyerungut, serupa anjing yang hendak menerkam buruan. Dari arah depan, dua kali tendangan gasingnya mendarat di ulu hati lelaki itu. Aliran napasnya seolah disumbat oleh hantaman kaki Langkisau. Ia sempoyongan. Badannnya oleng. Pandangannya kabur.

''Mampus kau!''

''Melangkahi bayang-bayang kepalaku sama dengan menginjak kepalaku.''

''Belum tahu siapa Langkisau kau rupanya?''

''Huaaap...''

Tiada ampun, guru muda tumbang, kepalanya mencukik ke dalam comberan tempat membasuh luka-luka di jambul ayam jago selepas berlaga. Buruk benar cara jatuhnya. Menelungkup dengan muka berkubang lumpur. Sementara itu, para petaruh makin ketakutan kalau-kalau anak muda itu tidak bangun lagi, apalagi kalau ia mati terkulai di tangan Langkisau. Kalau benar ia salah satu guru ngaji, keributan kecil itu tiada bakal berhenti sampai di sini. Para tetua Surau Tuo tak akan tinggal diam. Bukan Langkisau saja yang akan terancam, semua petaruh di lereng bukit itu akan tahu akibatnya.

''Cukup Langkisau!''

Begitu teriak Inyik Centang, kaki-tangan Langkisau. Ia muncul tiba-tiba, menghadang Langkisau yang hendak mencatukkan lading di kuduk lelaki tanggung yang sudah tak berkutik itu.

''Belum puas aku kalau orang ini masih hidup,'' bentak Langkisau, ''kukirim sekalian ke liang lahat.''

''Sekali lagi, cukup! Dia orang Surau Tuo. Bisa jadi orang suruhan Engku 21.''

''Nah, itu yang kutunggu sejak dulu. Sudah lama aku ingin menjajal kehebatan tuan-tuan Engku 21 itu.''

''Jangan takabur! Mereka sukar dikalahkan. Lebih-lebih si Gelang-Gelang Kawat. Ilmu Bayang-Bayang Tujuh matang di tangannya.''

''Keparat! Kau pikir aku takut? Akan kucincang si Bayang-Bayang Tujuh itu.''

''Cincang? Saat kau hendak menggoroknya, tubuh kasarnya hilang. Kau hanya bisa mendengar suaranya.''

***

Cerita Inyik Centang benar. Jauh sebelum lereng Bukit Limbuku penuh sesak oleh para penyabung, Gelang-Gelang Kawat menebang Betung di lahan itu. Ia beroleh upah dari seorang cukong yang konon telah memborong semua rumpun aur di lereng bukit itu. Suatu ketika, di musim kemarau, terjadi kebakaran karena ulah para penebang yang abai mematikan puntung rokok sebelum dibuang ke semak-semak. Celakanya, Gelang-Gelang Kawat tertuduh sebagai perokok yang buang puntung sembarangan itu hingga seperempat lereng bukit gosong dilalap api. Maka, ia harus berurusan dengan aparat.

''Benar Saudara yang menyebabkan Bukit Limbuku terbakar?'' bentak seorang petugas dengan memasang tampang sangar agar Gelang-Gelang Kawat lekas mengaku.

''Bukan saya, tapi tangan saya!'' balasnya. Tegas.

Pada saat Gelang-Gelang Kawat mengucapkan kata-kata itu, polisi yang memeriksanya hanya bisa mendengar suara paraunya, tidak bisa melihat wujud si tertuduh. Tubuhnya bagai menguap, bagai mengelayap entah ke mana, lenyap seketika. Lutut petugas itu gemetar karena takut. Bulu kuduknya meremang. Seumur-umur ia mengurus kasus kebakaran hutan, baru kali itu ia ketemu orang yang tak bertubuh kasar. Ia merasa tidak lagi berhadapan dengan tersangka, tapi dengan hantu penunggu lereng Bukit Limbuku.

Sejak peristiwa itu, Gelang-Gelang Kawat jarang ke lereng Bukit Limbuku. Pohon-pohon betung yang biasa ditebangnya sudah jadi abu. Ia mencurahkan perhatian untuk mengajar anak-anak mengaji di Surau Tuo. Lebih-lebih, sejak ia dipercaya menjadi salah satu Engku dari dua puluh satu Engku di surau itu. Sejak lama, masing-masing suku mengutus tiga orang Engku guna menyemarakkan surau usang itu; satu bilal, satu imam, satu khatib. Lantaran ada tujuh suku di kampung itu, maka azan-iqamah, salat berjamaah, belajar ngaji, wirid mingguan, dan khatib Jumat diurus oleh dua puluh satu Engku. Itu sebabnya mereka disebut Engku 21.

''Kalaulah tidak karena permintaan Engku-Engku, sudah kupatahkan pinggangnya,'' kata lelaki muda itu, sesekali ia meringis kesakitan saat Gelang-Gelang Kawat mengobati tulang belikatnya yang memar akibat tendangan gasing Langkisau.

''Makanya jangan lengah, masa' kau langkahi kepalanya? Ha ha ha...''

''Bukan kepalanya, hanya bayang-bayang kepalanya...''

''Di situ letak kelemahan Langkisau. Ada enam bagian lagi dari tubuhnya yang harus kau langkahi.''

''Tapi, kenapa aku tidak boleh mengelak? Jangankan melawan, mengelak pun pantang,''

''Kau ingin mengalahkan Langkisau bukan?'' sela Gelang-Gelang Kawat.

***

Kepulangan Langkisau ke kampung ini barangkali kepulangan paling celaka bagi setiap perantau. Setelah mengadu untung selama puluhan tahun dan beranak-pinak di negeri seberang, ia pulang dengan gairah hidup yang hampir redup. Tubuh jangkungnya kian ceking, namun perutnya buncit-padat lantaran berhari-hari ia tak bisa berak. Kabarnya, waktu itu, seseorang dengan kemampuan guna-guna tingkat tinggi menahan semua unsur yang berjenis racun untuk tetap bersarang di tubuh Langkisau, hingga tiba saatnya racun-racun itu menjadi penyakit yang bakal menyudahi riwayat si raja copet itu.

Sehebat-hebatnya Langkisau, tetap saja ada yang lebih hebat. Selihai-lihai tupai melompat, sekali waktu jatuh-terpelanting juga. Padahal, bila tidak terlalu kemaruk, Langkisau tak bakal ketemu lawan bersengat seperti itu. Anak buahnya banyak, wilayah kuasanya luas, ia disegani lantaran ilmu Bayang-Bayang Tujuh sempurna dikuasainya. Betapa tidak? Langkisau bisa menguras uang dari tujuh saku korban sekaligus, itu hanya dengan sekali gerak. Tubuhnya membelah jadi tujuh, tiada yang tahu mana jasad aslinya. Yang pasti, tujuh bayangan itu tidak pernah pulang percuma. Tapi, Langkisau tidak pernah puas. Masih saja ia menyabot wilayah orang lain. Ingin menjadi satu-satunya raja copet ia rupanya, ingin semua pencopet kota itu tunduk, bertekuk lutut di hadapannya. Langkisau lupa, di atas langit ada langit. Akibatnya, ia harus pulang sebagai pecundang. Dengan kekuatan guna-guna, ia ditumbangkan.

Untunglah, saudara seperguruannya, Gelang-Gelang Kawat, tidak tinggal diam. Meski Langkisau sudah menempuh jalan berbeda, Gelang-Gelang Kawat tetap mengerahkan segenap kesaktiannya guna menyelamatkan Langkisau yang sudah di ambang kematian. Tak lama Gelang-Gelang Kawat bekerja, sejawatnya sesama pewaris ilmu Bayang-Bayang Tujuh itu sembuh dan gairah jawaranya kembali menyala. ''Menyelamatkan nyawa Langkisau sama dengan membangunkan harimau tidur,'' kata orang-orang yang menginginkan kematian Langkisau.

''Biarkan saja keparat itu mati busuk!''

''Tak ingin jadi nomor satu? Bila Langkisau masih hidup, kau tetap nomor dua."

***

Lereng Bukit Limbuku yang lapang selepas terbakar disulap Langkisau menjadi arena sabung ayam. Diundangnya para penyabung dari mana-mana hingga setiap hari lereng bukit itu seperti pasar. Bila di rantau Langkisau raja copet, di sini, di kampung ini, ia raja judi. Tak ada yang berani menghadangnya, tidak pula para tetua kampung yang diam-diam ternyata sudah menjadi kacung-kacung Langkisau. Tak jelas lagi, siapa kawan siapa lawan, sejak Langkisau kembali bertaji. Kalaupun ada yang dapat mengimbangi kesaktiannya, itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang Engku 21, utamanya Gelang-Gelang Kawat.

''Menurut Engku, aku sanggup menumbangkannya?'' tanya murid terbaik Gelang-Gelang Kawat yang tulang belikatnya sudah enam kali jadi sasaran tendangan gasing Langkisau.

''Bayang-bayang Langkisau bagian mana lagi yang harus aku langkahi?''

''Jangan gegabah! Tinggal satu lagi.''

''Cepat katakan!''

''Langkahi bayang-bayang daerah gelang-gelang*) Langkisau! Itu pantangan ilmu Gelang-Gelang Kawat. Langkisaulah Gelang-gelang Kawat sebenarnya.''

Lelaki itu mulai bimbang. Jangan-jangan Langkisau dan Gelang-Gelang Kawat hanyalah dua kepingan dari satu jasad yang telah membelah. Bukankah keduanya sama-sama menempuh tarekat Bayang-Bayang Tujuh? Mungkin Langkisau telah membelah diri menjadi Gelang-Gelang Kawat atau Gelang-gelang Kawat yang membiak jadi Langkisau. Lalu, siapa wujud aslinya, di mana lima bayangan yang lain? Ah.

''Apa yang kau tunggu?'' desak Gelang-Gelang Kawat.

Lekas ia beranjak. Tapi, langkahnya bagai ditahan. Apa mungkin Engku Guru membunuh bayangan sendiri? Ia membatin. Sejurus kemudian, ia merasa telah menjadi orang lain. Kadang-kadang merasa sebagai Gelang-Gelang Kawat, tapi sesekali menggebu hendak jadi jawara seperti Langkisau.

*) Usus besar

Jakarta, 2008
Cerpen DAMHURI MUHAMMAD


Salam Persahabatan
ParaDIsE.group