Pujian Buat Erdogan

Keberanian PM Turki Mendapat Pujian Hamas dan Iran
[JP Online, Minggu, 01 Februari 2009]

RAMALLAH - Keberanian Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan memprotes -bahkan kemudian melakukan walk out- Presiden Israel Shimon Peres terkait persoalan Gaza pada KTT ekonomi di Davos Swiss Kamis (29/1), menuai pujian dari Hamas dan Iran.

''Erdogan membela Gaza dan semua korban perang Zionis terutama perempuan dan anak-anak di depan petinggi dunia yang hadir di forum Davos dan kepala setan Zionis, Peres,'' bunyi pernyataan di situs pribadi Hamas seperti dilaporkan The Earth Times .

Sebagai bentuk dukungan terhadap Erdogan, ribuan warga Palestina di Tepi Barat berbondong turun ke jalan. Mereka menyatakan salut dan berterimakasih kepada Erdogan. ''Kami harap negara-negara Arab dapat berlaku sebagaimana Turki,'' kata juru bicara organisasi Jihad Islamic, Dahoud Shehab.

Iran, negara pendukung Hamas, turut mengucapkan penghargaan serupa terhadap aksi Erdogan. Yang paling terpukau adalah Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad. ''Perilaku rezim Zionis sudah menyakiti kemanusiaan. Saya berterima kasih pada Erdogan atas tindakannya,'' puji Ahmadinejad seperti dilansir Agence France Presse kemarin (31/1). Sejumlah petinggi Iran turut melontarkan lagu senada.

''Aksi Erdogan bagai ledakan bom di dunia,'' ujar mantan Presiden Iran Akbar Hashemi Rafsanjani. Seorang ulama berpengaruh lain lagi iramanya. ''Pendirian berani melawan penjahat Israel,'' bunyi pesan singkat ulama sekaligus politisi berpengaruh, Ahmad Janati, kepada Erdogan.

''Kami harap Turki mengambil langkah tegas dengan memutus hubungan politik dengan Israel dan menendang duta besar negeri Zionis itu (dari Turki),'' ujar anggota parlemen terkemuka, Kazem Jalai. Tak hanya politisi, mahasiswa Iran turut mengungkapkan simpati terhadap Erdogan. Di depan kantor kedutaan besar Turki di Tehran, mereka meneriakkan kalimat dukungan. ''Erdogan, Erdogan, kami mendukung Anda,'' dan ''Binasalah Israel! Binasalah Amerika!''

Dalam wawancara khusus dengan Washington Post kemarin, Erdogan menceritakan proses perundingan perdamaian di Timur Tengah sebelum operasi Israel. Yakni perundingan empat negara, Turki, Syiria, Israel dan Palestina. Israel hampir mencapai kesepakatan upaya meredakan ketegangan dengan Syiria. Erdogan juga menginginkan agar Hamas diikutkan dalam proses perdamaian, namun Perdana Menteri Israel Ehud Olmert berseberangan pendapat.

''Saya yakin inilah jalannya jika ingin membebaskan serdadu Israel (yang ditawan Hamas 2005) Gilad Shalit,'' kata Erdogan. Namun, lanjut Erdogan, jika serdadu Israel sudah dibebaskan, maka ketua dan anggota parlemen Hamas yang ditawan Israel juga harus dibebaskan.

Permintaan pembebasan serdadu Gilad Shalit adalah satu dari sekian syarat gencatan senjata jangka panjang dan membuka perbatasan dengan Gaza usai serangan 22 hari berakhir 18 Januari lalu.

Ditanya apakah Presiden baru AS Barack Obama harus memainkan peran lebih besar dalam perdamaian Israel Palestina, Erdogan menjawab, ''Tak ada keadilan sekarang. Kami berharap perdamaian sekarang juga.'' (ape/ami)


Salam Persahabatan
ParaDIsE.group

Habisi Nyawa 5 Anak

[JP Online, Kamis, 29 Januari 2009]
Habisi Nyawa 5 Anak, Istri, lalu Bunuh Diri

LOS ANGELES - Diberhentikan dari Kaiser Permanente Medical Center West Los Angeles membuat Ervin Lupoe gelap mata. Apalagi, sang istri, Ana, yang sama-sama bekerja di klinik itu juga dipecat. Tak kuasa membayangkan beban hidup yang harus ditanggung selanjutnya, dia nekat membunuh istri dan lima anaknya, lantas bunuh diri.

Mayat Ana ditemukan terbujur di kamar tidur lantai atas bersama jasad dua putra bungsu mereka yang kembar dan masih berusia dua tahun. Sedangkan putri sulung mereka yang berusia delapan tahun ditemukan tidak bernyawa di samping jenazah adik perempuan kembarnya, 5, dan sang ayah di kamar lain.

Dalam faks yang dia kirimkan ke Kantor KABC-TV, pria Los Angeles itu mengatakan bahwa pembunuhan tersebut direncanakan bersama istrinya. Meski begitu, dialah yang bertindak sebagai eksekutor. Menurut pasangan paramedis yang kalap karena mendadak menjadi pengangguran tersebut, mati adalah jalan keluar terbaik bagi keluarga mereka. Termasuk, anak-anak. ''Mengapa harus menyerahkan anak-anak kita ke tangan orang lain,'' tulis Ervin dalam pesan yang dia kirimkan pada Selasa (27/1) dini hari waktu setempat.

Esok paginya, faks yang dikirim Ervin itu diteruskan KABC-TV ke pihak berwajib. Bersamaan dengan itu, Kepolisian Los Angeles juga menerima laporan pembunuhan dari seorang pria lewat telepon. ''Saya baru saja pulang ke rumah dan mendapati seluruh anggota keluarga saya tewas terbunuh,'' ujar pelapor yang diduga sebagai Ervin seperti dikutip Associated Press kemarin (28/1).

Karena mendengar dua laporan pembunuhan tersebut, polisi pun bergegas meluncur ke rumah keluarga Lupoe di Wilmington. Mereka tiba di kawasan yang terletak di antara pelabuhan Los Angeles dan Long Beach itu pada Selasa lalu, sekitar pukul 8.30 waktu setempat, selang beberapa menit dari waktu pembunuhan. ''Bau mesiu dari senapan yang digunakan untuk menembak para korban masih jelas tercium,'' ujar petugas.

Letnan John Romero menuding Ervin sebagai tersangka pembunuhan. Sebab, meski dalam faks dia menyebut Ana sebagai dalang pembunuhan berencana tersebut, bukti yang ada memunculkan dugaan lain. ''Pistol yang digunakan untuk menghabisi keluarga Lupoe tergeletak di samping mayat Ervin,'' tegas Romero. Itulah yang membuat polisi yakin Ervin-lah yang harus bertanggung jawab atas kejahatan tersebut.

Kepala Crescent Heights Elementary School Cherise Pounders-Caver mengatakan bahwa Ervin mengeluarkan tiga anaknya dari sekolah sekitar satu setengah pekan lalu. ''Alasannya, mereka akan pindah ke Kansas dan tiga siswa kami itu akan dipindahkan ke sekolah lain,'' ujarnya seperti dilansir CNN kemarin. Merasa tidak ada yang aneh, Pounders-Caver pun tidak menanyakan alasan kepindahan mereka.(hep/ami)


Salam Persahabatan
ParaDIsE.group

Erdogan Hailed After Davos Walkout

Presiden Israel Shimon Peres dan PM Turki Recep Tayyip Erdogan, Adu Mulut
[JP Online, Sabtu, 31 Januari 2009]

DAVOS - Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, memanas. Pada salah satu sesi dialog perdamaian kemarin (30/1), dua pembicara, yakni Presiden Israel Shimon Peres dan Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan, adu mulut di panggung. Kejadian itu disaksikan langsung Sekjen PBB Ban Ki-moon dan Sekjen Liga Arab Amr Mussa serta ratusan hadirin yang memadati ruang pertemuan.

Pemicunya adalah pidato Shimon Peres mengenai konflik Gaza. Saat diberi kesempatan berbicara oleh moderator, Peres menyatakan bahwa Israel terpaksa menyerang Hamas karena mereka menembakkan ribuan roket dan mortir ke Israel. ''Tragedi Gaza bukanlah Israel, tapi Hamas,'' kata peraih Nobel Perdamaian bersama mendiang pemimpin PLO Yasser Arafat pada 1994 itu dengan suara keras yang disambut tepuk tangan hadirin. Kemudian, sambil menunjuk Erdogan, Peres mengatakan bahwa Turki akan berbuat hal yang sama jika Istanbul dihujani roket.

PM Turki yang sejak semula bersungut-sungut melihat Peres berkampanye tentang invasi ke Gaza dalam pidatonya langsung menginterupsi. Erdogan mengkritik hadirin yang terdiri atas pejabat internasional maupun swasta karena mereka memberikan tepuk tangan atas pidato emosional Peres. Erdogan mengingatkan hadirin bahwa Israel berlaku biadab di Gaza dengan membantai lebih dari 1.300 warga Palestina.

''Saya merasa sangat sedih karena orang-orang tepuk tangan atas ucapan Anda, padahal banyak orang tewas,'' teriaknya kepada Peres sebelum dihentikan oleh moderator, yakni wartawan Washington Post David Ignatius.Tak menggubris peringatan moderator, Erdogan terus nyerocos sambil menuding balik Peres dengan mengatakan, Peres berbicara keras hanya untuk menutupi kesalahan-kesalahannya di Gaza. Untuk yang kedua, moderator menegur Erdogan. ''Kita tidak bisa memulai kembali debat ini karena waktunya tidak ada,'' tegur moderator Ignatius.

Merasa moderator tak menghargai protesnya, Erdogan semakin berang. Dia menuding wartawan senior The Post itu tidak adil karena Peres diberi waktu 25 menit untuk berbicara, sedangkan dirinya hanya 12 menit. ''Saya berpikiran tidak akan datang lagi ke Davos setelah kejadian ini karena Anda tidak membolehkan saya berbicara,'' kata PM Turki itu sambil bangkit dari kursi, kemudian berjalan meninggalkan panggung.

Sekjen PBB Ban Ki-moon dan PM Israel yang duduk sejajar dengan Erdogan hanya melongo melihat ''kegusaran'' PM Turki itu. Sedangkan upaya Sekjen Liga Arab Amr Mussa yang berdiri dan mencoba menenangkan Erdogan berakhir sia-sia. Erdogan langsung meninggalkan acara dan saat itu juga terbang pulang ke negaranya.

''Serangan'' PM Turki kepada presiden Israel di sebuah forum internasional cukup mengagetkan. Mengingat, Turki adalah salah satu di antara sebagian kecil negara-negara muslim yang punya hubungan diplomatik dengan Israel. Erdogan selam ini juga memimpin upaya mediasi antara Israel dan Syria beberapa saat menjelang serbuan ke Gaza.

Dia berkali-kali mengecam serbuan itu, namun menolak desakan memutus hubungan dengan Israel. ''Saya seorang pemimpin dunia yang mengatakan bahwa anti-Semitisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Saya katakan ini sejak awal menjadi perdana menteri maupun sebelumnya,'' ujar Erdogan menanggapi kecaman kelompok Yahudi.

Jadi Pahlawan

Rakyat Turki mengelu-elukan PM Recep Tayyip Erdogan saat dia mendarat di Istanbul beberapa jam setelah walk out dari debat soal Gaza di Davos. Massa begitu bangga atas ketegasan pemimpin mereka dan menyambutnya dengan lambaian bendera Turki dan Palestina di bandara saat Erdogan turun dari pesawat.

Saat berpidato di hadapan massa penjemputnya, Erdogan mengatakan bahwa nada dan bahasa Presiden Israel Simon Peres tidak bisa diterima. ''Saya hanya tahu saya harus melindungi martabat Turki dan bangsa Turki,'' kata Erdogan.

''Saya bukan kepala suku. Saya perdana menteri Turki. Saya harus melakukan yang harus saya lakukan,'' tambah Erdogan yang disambut teriakan massa ''Turki bersama Anda''.

Namun, saat jumpa pers di kantornya, emosi Erdogan sudah mereda. Dia kepada wartawan menyatakan bahwa keputusannya meninggalkan tempat debat bukan akibat ketidaksepahamannya dengan Peres, tapi karena diberi waktu lebih pendek daripada presiden Israel.

Sementara itu, Presiden Peres mengatakan, dirinya berharap agar hubungan Israel dengan Turki tidak terganggu akibat perdebatan sengit antara dirinya dan PM Erdogan. Dia mengaku sudah menelepon PM Turki untuk menyampaikan permintaan maaf. ''Saya katakan ke dia, ini bukan tentang Anda, atau rakyat Anda. Kita masih bersahabat,'' ujar Peres. (AP/BBC/CNN/kim)


Salam Persahabatan
ParaDIsE.group

UN to probe Gaza compound attack

UN to probe Gaza compound attack
The January 15 attack destroyed much-needed food and medical supplies [Reuters]

The UN secretary-general has announced an investigation into the attack on the UN headquarters in the Gaza Strip during Israel's 22-day assault on the Palestinian territory.

Ban Ki-moon said on Thursday that he was angered by the "unacceptable" Israeli attacks on civilians and UN relief agency (Unrwa) compounds.

"Over the past several weeks, unacceptable and terrible situations have taken place against the civilian people and against particularly the United Nations compounds, where many civilians were sheltered," he said at the World Economic Forum in Davos, Switzerland.

The UN chief's announcement came shortly after nine people, seven of them schoolchildren, were injured in an Israeli air raid on Khan Yunis, a city in the southern Gaza Strip.

Israel seemed to be targeting a Palestinian fighter on a motorcycle, witnesses told Al Jazeera. There have been a series of raids on Gaza in recent days despite the Israeli government calling a unilateral ceasefire to end the fighting on January 17.

'Upset and angered'

Ban said there would be an "independent investigation to look into the case of [the]Unrwa compound bombing".

The bombing set fire to warehouses, destroying badly-needed food and medical aid.

UN officials say they have evidence that white phosphorous, a smokescreen agent that can cause severe burns, was used in the attack on the UN relief agency's main building in Gaza that left three people injured.

"I myself saw and visited this compound, which has been destroyed by Israeli forces. It was just, again, unacceptable, and I was very much frustrated and upset and angered by what I had seen," Ban said.

Israel said Hamas fighters had used the compound to launch attacks on its forces but later apologised for the incident.

A total of 53 installations used by the United Nations Relief and Works agency were damaged or destroyed during Israel's Gaza campaign including 37 schools - six of which were being used as emergency shelters - six health centres, and two warehouses.

Ban's investigation will be separate from one that the UN Human Rights Council has launched into alleged violations of humanitarian law during the fighting, but he did not give details on who will carry it out and when.

Raanan Gissin, an adviser to Ariel Sharon, a former Israeli prime minister, said that Israel has nothing to hide and called for any investigation to examine Hamas's conduct during the war.

"In the 22 days of the war they used their own people as human shields. This is the largest hostage situation in world history," he said.

"Israel exercised its right to self-defence, taking great care not to harm civilians.

"Hamas has used Unrwa camps - in which armed men are not allowed, according to the UN Charter - to deploy their own weapons and fighters and brought in other people, so that when Israel fired it was turned into a crime scene and a smoking gun was pointed at Israel."

US demands

The Security Council has yet to take a position on the UN investigation, but Susan Rice, the new US ambassador to the body, said on Thursday that Israel should carry out its own investigation into possible abuses by its forces.

"We expect Israel will meet its international obligations to investigate and we also call upon all members of the international community to refrain from politicising these important issues," she said.

In her debut speech at the UN Security Council in New York, Rice also said that Hamas was guilty of violating international law "through its rocket attacks against Israeli civilians in southern Israel and the use of civilian facilities to provide protection for its terrorist attacks".

George Mitchell, the US special envoy to the Middle East, is in the region as part of efforts to promote peace between Israel and the Palestinians.

But he warned that there could be setbacks.

"The tragic violence in Gaza and in southern Israel offers a sobering reminder of the very serious and difficult challenges and unfortunately the setbacks that will come," he said.

More than 1,300 Palestinians, including 44 civilians sheltering at a UN-run school housing refugees, were killed during Israel's war on Gaza. Thirteen Israel citizens also died during the conflict.

The African Union has joined the number of international bodies condemning Israel's attacks on Gaza.

The 53-member African body called on Friday for the United Nations to investigate allegations that Israel violated human rights in a series of "massive, indiscriminate and disproportionate" raids.

In Davos on Thursday, Ban also announced an international appeal to raise $613m to help rebuild Gaza.

He said the appeal for funds covered the requirements of the UN and other organisations for the next six to nine months, providing aid such as medical care and clean water.

Egypt's foreign ministry said on Friday that the country will host an international conference in March aimed at raising $2bn for the reconstruction of Gaza.

The ministry said the conference will be "organised in co-ordination" with the Palestinian Authority, which is led by Mahmoud Abbas, the Palestinian president and leader of Fatah - Hamas' main rival. [aljazeera]

Happy Blogging, Love You Without Wax
ParaDIsE.group Indonesia

Obama's Inaugural Speech

Obama's Inaugural Speech

Barack Obama was sworn in as the 44th president of the United States and the nation's first African-American president Tuesday. This is a transcript of his prepared speech. In his speech Tuesday, President Obama said America must play its role in ushering in a new era of peace. In his speech Tuesday, President Obama said America must play its role in ushering in a new era of peace.

I stand here today humbled by the task before us, grateful for the trust you have bestowed, mindful of the sacrifices borne by our ancestors. I thank President Bush for his service to our nation, as well as the generosity and cooperation he has shown throughout this transition.

Forty-four Americans have now taken the presidential oath. The words have been spoken during rising tides of prosperity and the still waters of peace. Yet, every so often, the oath is taken amidst gathering clouds and raging storms. At these moments, America has carried on not simply because of the skill or vision of those in high office, but because We the People have remained faithful to the ideals of our forebearers, and true to our founding documents.

So it has been. So it must be with this generation of Americans.

That we are in the midst of crisis is now well understood. Our nation is at war, against a far-reaching network of violence and hatred. Our economy is badly weakened, a consequence of greed and irresponsibility on the part of some, but also our collective failure to make hard choices and prepare the nation for a new age. Homes have been lost; jobs shed; businesses shuttered. Our health care is too costly; our schools fail too many; and each day brings further evidence that the ways we use energy strengthen our adversaries and threaten our planet.

These are the indicators of crisis, subject to data and statistics. Less measurable but no less profound is a sapping of confidence across our land -- a nagging fear that America's decline is inevitable, and that the next generation must lower its sights.
Today I say to you that the challenges we face are real. They are serious and they are many. They will not be met easily or in a short span of time. But know this, America: They will be met.

On this day, we gather because we have chosen hope over fear, unity of purpose over conflict and discord.

On this day, we come to proclaim an end to the petty grievances and false promises, the recriminations and worn-out dogmas, that for far too long have strangled our politics.
We remain a young nation, but in the words of Scripture, the time has come to set aside childish things. The time has come to reaffirm our enduring spirit; to choose our better history; to carry forward that precious gift, that noble idea, passed on from generation to generation: the God-given promise that all are equal, all are free, and all deserve a chance to pursue their full measure of happiness.

In reaffirming the greatness of our nation, we understand that greatness is never a given. It must be earned. Our journey has never been one of shortcuts or settling for less. It has not been the path for the fainthearted -- for those who prefer leisure over work, or seek only the pleasures of riches and fame. Rather, it has been the risk-takers, the doers, the makers of things -- some celebrated, but more often men and women obscure in their labor -- who have carried us up the long, rugged path toward prosperity and freedom.

For us, they packed up their few worldly possessions and traveled across oceans in search of a new life.

For us, they toiled in sweatshops and settled the West; endured the lash of the whip and plowed the hard earth.
For us, they fought and died, in places like Concord and Gettysburg; Normandy and Khe Sahn.

Time and again, these men and women struggled and sacrificed and worked till their hands were raw so that we might live a better life. They saw America as bigger than the sum of our individual ambitions; greater than all the differences of birth or wealth or faction.

This is the journey we continue today. We remain the most prosperous, powerful nation on Earth. Our workers are no less productive than when this crisis began. Our minds are no less inventive, our goods and services no less needed than they were last week or last month or last year. Our capacity remains undiminished. But our time of standing pat, of protecting narrow interests and putting off unpleasant decisions -- that time has surely passed. Starting today, we must pick ourselves up, dust ourselves off, and begin again the work of remaking America.

For everywhere we look, there is work to be done. The state of the economy calls for action, bold and swift, and we will act -- not only to create new jobs, but to lay a new foundation for growth. We will build the roads and bridges, the electric grids and digital lines that feed our commerce and bind us together. We will restore science to its rightful place, and wield technology's wonders to raise health care's quality and lower its cost. We will harness the sun and the winds and the soil to fuel our cars and run our factories. And we will transform our schools and colleges and universities to meet the demands of a new age. All this we can do. And all this we will do.

Now, there are some who question the scale of our ambitions -- who suggest that our system cannot tolerate too many big plans. Their memories are short. For they have forgotten what this country has already done; what free men and women can achieve when imagination is joined to common purpose, and necessity to courage.

What the cynics fail to understand is that the ground has shifted beneath them -- that the stale political arguments that have consumed us for so long no longer apply. The question we ask today is not whether our government is too big or too small, but whether it works -- whether it helps families find jobs at a decent wage, care they can afford, a retirement that is dignified. Where the answer is yes, we intend to move forward. Where the answer is no, programs will end. And those of us who manage the public's dollars will be held to account -- to spend wisely, reform bad habits, and do our business in the light of day -- because only then can we restore the vital trust between a people and their government.

Nor is the question before us whether the market is a force for good or ill. Its power to generate wealth and expand freedom is unmatched, but this crisis has reminded us that without a watchful eye, the market can spin out of control -- and that a nation cannot prosper long when it favors only the prosperous. The success of our economy has always depended not just on the size of our gross domestic product, but on the reach of our prosperity; on our ability to extend opportunity to every willing heart -- not out of charity, but because it is the surest route to our common good.

As for our common defense, we reject as false the choice between our safety and our ideals. Our Founding Fathers, faced with perils we can scarcely imagine, drafted a charter to assure the rule of law and the rights of man, a charter expanded by the blood of generations. Those ideals still light the world, and we will not give them up for expedience's sake. And so to all other peoples and governments who are watching today, from the grandest capitals to the small village where my father was born: Know that America is a friend of each nation and every man, woman and child who seeks a future of peace and dignity, and that we are ready to lead once more.

Recall that earlier generations faced down fascism and communism not just with missiles and tanks, but with sturdy alliances and enduring convictions. They understood that our power alone cannot protect us, nor does it entitle us to do as we please. Instead, they knew that our power grows through its prudent use; our security emanates from the justness of our cause, the force of our example, the tempering qualities of humility and restraint.

We are the keepers of this legacy. Guided by these principles once more, we can meet those new threats that demand even greater effort -- even greater cooperation and understanding between nations. We will begin to responsibly leave Iraq to its people, and forge a hard-earned peace in Afghanistan. With old friends and former foes, we will work tirelessly to lessen the nuclear threat, and roll back the specter of a warming planet. We will not apologize for our way of life, nor will we waver in its defense, and for those who seek to advance their aims by inducing terror and slaughtering innocents, we say to you now that our spirit is stronger and cannot be broken; you cannot outlast us, and we will defeat you.

For we know that our patchwork heritage is a strength, not a weakness. We are a nation of Christians and Muslims, Jews and Hindus -- and nonbelievers. We are shaped by every language and culture, drawn from every end of this Earth; and because we have tasted the bitter swill of civil war and segregation, and emerged from that dark chapter stronger and more united, we cannot help but believe that the old hatreds shall someday pass; that the lines of tribe shall soon dissolve; that as the world grows smaller, our common humanity shall reveal itself; and that America must play its role in ushering in a new era of peace.

To the Muslim world, we seek a new way forward, based on mutual interest and mutual respect. To those leaders around the globe who seek to sow conflict, or blame their society's ills on the West: Know that your people will judge you on what you can build, not what you destroy. To those who cling to power through corruption and deceit and the silencing of dissent, know that you are on the wrong side of history; but that we will extend a hand if you are willing to unclench your fist.

To the people of poor nations, we pledge to work alongside you to make your farms flourish and let clean waters flow; to nourish starved bodies and feed hungry minds. And to those nations like ours that enjoy relative plenty, we say we can no longer afford indifference to suffering outside our borders; nor can we consume the world's resources without regard to effect. For the world has changed, and we must change with it.

As we consider the road that unfolds before us, we remember with humble gratitude those brave Americans who, at this very hour, patrol far-off deserts and distant mountains. They have something to tell us today, just as the fallen heroes who lie in Arlington whisper through the ages. We honor them not only because they are guardians of our liberty, but because they embody the spirit of service; a willingness to find meaning in something greater than themselves. And yet, at this moment -- a moment that will define a generation -- it is precisely this spirit that must inhabit us all.

For as much as government can do and must do, it is ultimately the faith and determination of the American people upon which this nation relies. It is the kindness to take in a stranger when the levees break, the selflessness of workers who would rather cut their hours than see a friend lose their job which sees us through our darkest hours. It is the firefighter's courage to storm a stairway filled with smoke, but also a parent's willingness to nurture a child, that finally decides our fate.

Our challenges may be new. The instruments with which we meet them may be new. But those values upon which our success depends -- hard work and honesty, courage and fair play, tolerance and curiosity, loyalty and patriotism -- these things are old. These things are true. They have been the quiet force of progress throughout our history. What is demanded then is a return to these truths. What is required of us now is a new era of responsibility -- a recognition, on the part of every American, that we have duties to ourselves, our nation and the world; duties that we do not grudgingly accept but rather seize gladly, firm in the knowledge that there is nothing so satisfying to the spirit, so defining of our character, than giving our all to a difficult task.

This is the price and the promise of citizenship.

This is the source of our confidence -- the knowledge that God calls on us to shape an uncertain destiny.

This is the meaning of our liberty and our creed -- why men and women and children of every race and every faith can join in celebration across this magnificent Mall, and why a man whose father less than 60 years ago might not have been served at a local restaurant can now stand before you to take a most sacred oath.

So let us mark this day with remembrance, of who we are and how far we have traveled. In the year of America's birth, in the coldest of months, a small band of patriots huddled by dying campfires on the shores of an icy river. The capital was abandoned. The enemy was advancing. The snow was stained with blood. At a moment when the outcome of our revolution was most in doubt, the father of our nation ordered these words be read to the people:
"Let it be told to the future world ... that in the depth of winter, when nothing but hope and virtue could survive... that the city and the country, alarmed at one common danger, came forth to meet [it]."

America. In the face of our common dangers, in this winter of our hardship, let us remember these timeless words. With hope and virtue, let us brave once more the icy currents, and endure what storms may come. Let it be said by our children's children that when we were tested, we refused to let this journey end, that we did not turn back, nor did we falter; and with eyes fixed on the horizon and God's grace upon us, we carried forth that great gift of freedom and delivered it safely to future generations. (cnn.com)
Happy Blogging, Love You Without Wax
ParaDIsE.group Indonesia

Sarang Izzudin Al Qassam

[JP Online, Jum'at, 30 Januari 2009]
Masuk ke Sarang Izzudin Al Qassam, Sayap Militer Hamas (1)
Tutupi Wajah dengan Kafiyeh ala Ninja

Nama Brigade Izzudin Al Qassam kembali mencuat saat warga Gaza, Palestina, perang melawan Israel. Tempat persembunyian sayap militer Hamas itu menjadi target nomor satu mesin perang Negeri Yahudi itu. Namun, seperti "hantu", mereka bergerak cepat dan diliputi kerahasiaan.

Izzudin Al Qassam berdiri hanya empat bulan setelah Syekh Ahmad Yassin mendeklarasikan Hamas pada 1987. Penggagasnya, antara lain, Sobhi Al Mazi (baca wawancaranya dengan Jawa Pos, 27 Januari 2009), Imad Aqel, Yahya Ayyash, Mohammad Al Deef, dan Hassan Salamah.

Mengambil nama pejuang Syria yang terbunuh dalam perang di Gaza pada 1936, sayap militer ini untuk mengoordinasikan gerakan perlawanan terhadap Israel. ''Dari yang semula sporadis, diarahkan menjadi strategis dan terarah,'' kata juru bicara Hamas Fauzin Barhoum kepada Jawa Pos.

Aksi kelompok itu, antara lain, serangkaian pengeboman antara 2005-2007, termasuk lima aksi bom bunuh diri di Israel. Menurut Ahmad, salah satu kepala Fasheel (struktur tentara Hamas untuk menyebut setingkat kota), aksi bom bunuh diri tersebut merupakan balas dendam atas terbunuhnya Yahya Ayyash, pemimpin brigade, akibat ponselnya dipasang bom.

Penggantinya, Hassan Salamah, pun bersumpah membalas dendam dan mengotaki lima bom bunuh diri di Israel yang menewaskan sekitar 200 orang. ''Namun, Hassan Salamah ditangkap di Tepi Barat oleh tentara Israel dan dipenjara di sana,'' kata Ahmad. Vonis yang dijatuhkan pengadilan Israel tak tanggung-tanggung. Yakni, hukuman penjara seumur hidup ditambah kurungan 1.125 tahun penjara. ''Vonis macam apa itu?'' kata Ahmad kemudian menggeleng-gelengkan kepala.

Sejak Hassan Salamah ditangkap, kini tampuk kepemimpinan dipegang Mohammad Al Deef. Belajar dari pengalaman masa lalu (pimpinannya selalu menjadi target pembunuhan), laskar tersebut betul-betul menjaga kerahasiaan pimpinannya. ''Hanya pimpinan kelas tinggi yang bisa bertemu,'' katanya.

Ahmad mengklaim hingga kini tak ada satu pun yang bisa mengidentifikasi siapa Mohammad Al Deef. Keberadaannya seperti legenda, tak pernah menetap, dan bila bertemu anak buah selalu mengenakan kafiyeh yang dipakai seperti ninja. ''Tak ada satu pun yang tahu wajahnya. Israel memang tahu nama ini, tapi tak pernah punya fotonya,'' tutur Ahmad dengan nada sedikit bangga.

Bahkan, dalam setiap pertemuan pucuk pimpinan Al Qassam, tokoh ini tak pernah menunjukkan muka aslinya. ''Jadi, kalau dia (Muhammad Al Deef) melepas kafiyehnya dan berjalan-jalan, tak ada yang tahu. Saya sendiri pun tak akan pernah tahu,'' tambahnya.

Soal merahasiakan pimpinannya, Hamas memang sangat ekstraketat. Ismail Haniyah, misalnya. Hingga kini Perdana Menteri Palestina tersebut hidup di tempat persembunyian. Ini setelah Israel bersumpah bahwa "Ismail Haniyah tak akan melihat lagi sinar matahari sampai Kopral Gilad Shalit (tentara Israel yang diculik Hamas) dibebaskan".

Selain merahasiakan identitas para pentolannya, brigade itu membangun sistem untuk memperketat kerahasiaan tersebut. Dari penelusuran Jawa Pos, pasukan ini menggunakan sistem sel. Di antara anggota sel sering tak tahu satu sama lain. Kalaupun tahu, yang sekadar tahu bahwa temannya sama-sama anggota Al Qassam, tapi tak tahu dari sel mana.

Brigade itu membagi selnya sangat kecil, hingga hanya ada sekitar enam orang dalam satu kelompok yang dipimpin satu orang. Sebutannya adalah majmu'ah. Tiga atau lebih rais majmu'ah (pimpinan majmu'ah) kemudian mengelompok lagi menjadi tashkeel -setingkat kecamatan.

Di atas tashkeel, ada lagi struktur yang bernama fasheel -gabungan dari dua atau tiga tashkeel. Demikian terus berjenjang ke atas, para pemimpin fasheel mengelompok lagi menjadi sariyyah. Beberapa sariyyah itu mengelompok lagi menjadi katibah. Selanjutnya, beberapa pemimpin katibah membentuk struktur pimpinan pusat yang diberi nama liwa'.

Salah satu kiat untuk tetap menjaga kerahasiaan adalah dengan sebisa mungkin menghindari alat modern seperti ponsel, walkie talkie, dan peranti canggih lainnya. Dalam pertemuan penting, undangan tidak disampaikan lewat telepon atau SMS, tapi melalui kurir.

''Siapa pun tahu bahwa keunggulan mereka (Israel dan AS) adalah pelacakan lewat alat canggih. Maka, kami tak percaya dengan alat-alat canggih,'' kata Ahmad.

Kalaupun terpaksa menggunakan telepon, bahasa yang digunakan pun ada kode tertentu, sehingga terkesan seperti pembicaraan biasa.

Soal hamniyah (kerahasiaan) memang menjadi salah satu kode etik anggota Al-Qassam yang terpenting selain masalah akhlak. Pelanggaran terhadap hal itu (hamniyah) merupakan pelanggaran terberat. Bila hanya berakibat mengganggu ritme kerja pasukan itu, maka sanksinya adalah dicopot keanggotaannya. Bila agak berat (seperti berkoar-koar di luar bahwa dirinya adalah anggota Izzudin Al Qassam), ditembak tapi pada bagian yang tidak mematikan, seperti kaki.

Namun, bila berat (misalnya sampai mengakibatkan kedok seorang pemimpin majmu'ah, tashkeel, fasheel, sariyyah, katibah, atau liwa' ketahuan), anggota tersebut bisa dibunuh. Dengan kode etik seperti ini, anggota Al-Qassam lebih suka tak bicara macam-macam di luar lingkungan mereka. Ahmad kemudian memberikan contoh betapa efektifnya sistem seperti ini. ''Seperti anfaq (terowongan bawah tanah). Ada divisi khusus yang melakukan penggalian,'' tuturnya.

Anggota yang bertugas membuat terowongan tersebut sama sekali tak pernah komunikasi dengan yang lain. Kerjanya tiap hari hanya menggali terowongan selama enam jam per hari (satu terowongan biasanya selesai dalam waktu empat hingga lima bulan). ''Yang lain baru tahu setelah terowongan tersebut jadi dan bisa dimanfaatkan,'' urainya.

Hasil gerakan tutup mulut soal anfaq itu, Ahmad memperkirakan ada lebih dari 1.000 anfaq yang tersebar di seluruh Jalur Gaza. Ada yang antarkota, ada yang menembus Mesir, dan tak sedikit yang menembus batas wilayah Israel. ''Yang ke Israel sangat penting, karena dari sanalah kami biasanya menyusupkan para syahidin untuk mengebom,'' lanjutnya. Dengan total anggota sekitar 50 ribu orang, Brigade Izzudin Al-Qassam tetap masih kuat untuk menghadirkan mimpi buruk bagi Israel. (bersambung)

[Sabtu, 31 Januari 2009]
Masuk ke Sarang Izzudin Al Qassam, Sayap Militer Hamas (2)
Bocah 14 Tahun Sudah Lihai Memegang AK-47

JURU Bicara Hamas Fauzin Barhoum tersenyum ketika ditanya Jawa Pos apakah penghancuran Gaza oleh mesin perang Israel yang menewaskan lebih dari 1.600 orang tak membuat Hamas dibenci rakyat Palestina.

''Sama sekali tidak. Justru malah membuat kami semakin kuat. Anda akan lihat sendiri,'' kata pria yang juga orang nomor empat di Hamas itu. Alasan Fauzin, Hamas dan juga Brigade Izzudin Al Qassam sangat mengakar di masyarakat.

Fauzin kemudian menguraikan pandangannya. ''Sekarang, mari kita telaah,'' katanya. Dalam invasi yang terakhir, Israel memenangkan apa, menderita kerugian apa, dan Hamas kehilangan apa, memenangkan apa. ''Mengerahkan 40 persen kekuatannya, Israel hanya mengebom dan menembaki rakyat Palestina secara membabi buta begitu saja. Tapi, apa yang mereka menangkan?'' katanya.

Fauzin juga mempertanyakan mengapa tiba-tiba Israel menghentikan serangan dengan mengumumkan gencatan senjata secara sepihak. ''Bila Olmert (Ehud Olmert, PM Israel, Red) mengatakan telah mencapai apa yang menjadi tujuannya, itu jelas omong besar. Kami malah semakin kuat,'' katanya. Dari hitung-hitungan Fauzin, setidaknya 80 tentara Israel tewas dan belasan tank Merkava berhasil dihancurkan pejuang Hamas.

Selain 1.600 rakyat Palestina tewas, Hamas ''hanya'' kehilangan 48 anggota intinya. ''Praktis, dalam agresi Israel lalu, boleh dibilang kami hanya berbuat sedikit saja. Dan, jangan lupa, kami sudah siap menerima serangan Israel,'' tambahnya.

Dengan fakta seperti itu, Fauzin kembali mempertanyakan siapa memenangkan apa dan siapa yang mengalami kekalahan. ''Kekuatan kami tak juga melemah, bahkan semakin kuat. Selain itu, sejak awal serangan dilancarkan, kami menerima banyak permintaan syahid dari rakyat Palestina,'' imbuhnya.

Fauzin tidak asal omong. Di Jalur Gaza, Hamas memang sangat kuat mengakar. Kondisi psikologi sosial di sana memang mendukung. Pertama, karena sedikitnya ''pilihan'' idola di sana, anak-anak muda Jalur Gaza sangat mengidolakan pejuang-pejuang Izzudin Al Qassam.

Tak seperti Indonesia yang memiliki sekian saluran televisi dengan berbagai hiburan sejak bangun tidur hingga tidur lagi, saluran televisi (satu-satunya hiburan yang ada) hanya menyiarkan represi yang diterima Hamas, penderitaan rakyat Palestina, siaran religius yang membakar semangat jihad, dan film propaganda Izzudin Al Qassam. Tak heran, anak muda Jalur Gaza sangat terpesona dan begitu ingin menjadi bagian dari Hamas.

Selain itu, warga di Gazanya mengenal senjata sejak usia dini. Sebab, setiap anggota Al Qassam menyimpan senjata di rumah. Peralatan standar mereka adalah sebuah kevlar (rompi anti peluru), dua granat, sebuah AK-47 atau M-16, sepucuk pistol, tiga magasin, dan ratusan peluru.

Tentu saja anak-anak kecil di Hamas sering melihat kakak-kakaknya tampak gagah menenteng senjata. Selain itu, si kakak juga tak ''pelit'' mengajari adik-adiknya memegang senjata. Jawa Pos melihat sendiri adik seorang anggota brigade yang berusia 14 tahun sudah lancar membuka dan mengunci AK-47, melepas magasin, mengisi peluru, memasangnya kembali, dan membidik dalam waktu sangat cepat. ''Saya ingin menjadi anggota Al Qassam,'' kata Muhammad, nama bocah tersebut.

Hamas (dan Izzudin Al Qassam) juga memperlakukan anggota yang terbunuh dengan istimewa. Selain tak pernah menyebut ''tewas'' (lebih suka menyebutnya dengan syahid), mereka membuat poster anggotanya itu dalam jumlah banyak dan ditempel di sepanjang gang. Bahkan, sebagian juga dibuatkan semacam buku biografi. Foto dalam poster itu ''dimontase'' sedemikian rupa sehingga terlihat gagah mengenakan seragam militer dan menenteng senjata.

Karena itu, mati pun bukan menjadi sesuatu yang menakutkan para anak muda Palestina. ''Kami semua menunggu giliran untuk syahid. Kami menanti itu,'' kata Hamzah, salah seorang anggota penting di fasheel Brigade Izzudin Al Qassam, Gaza City.

Hamzah mengakui, semua anggota Al Qassam akan menjawab ''siap'' bila sewaktu-waktu mendapat perintah syahid. Selain itu, beberapa cerita mengenai ''karomah'' para syuhada itu pun muncul. Misalnya, cerita tentang Mahmood Siam, anggota Izzudin Al Qassam yang tewas di medan pertempuran Jabaliya setelah membunuh enam orang tentara Israel.

Kabarnya, sebelum syahid, Mahmood sempat menelepon ibunya. Itu mengherankan karena Mahmood telah bersembunyi di sebuah terowongan selama empat hari. ''Tidak ada listrik, tidak ada pulsa, dan tidak ada sinyal. Bagaimana bisa dia menghubungi ibunya dan kemudian berpamitan syahid,'' kata Hamzah.

Selain itu, Hamzah menunjukkan kepada Jawa Pos sebuah bandana berbau wangi yang dikenakan seorang pejuang Hamas yang tewas. ''Ini sudah dua minggu, tapi bandananya selalu wangi. Padahal, sama sekali tak pernah diberi parfum,'' ucap Hamzah.

Cerita soal kafan yang berbentuk wajah bidadari yang seolah-olah mencium pejuang Hamas yang meninggal dan sejumlah cerita ''mistis'' lain pun sering terdengar.

Terlepas dari benar atau salah, cerita-cerita tersebut mendorong tekad syahid dan berani mati anggota Izzudin Al Qassam semakin tinggi. Tidak ada yang ragu untuk menyatakan syahid. (bersambung)


Salam Persahabatan
ParaDIsE.group

Tayangan Amal Gaza

[JP Online, Selasa, 27 Januari 2009]
Jaga Netralitas Sky News Ikuti BBC Tolak Tayangkan Amal Gaza

LONDON - Setelah British Broadcasting Corporation (BBC), stasiun berita Inggris lainnya, Sky News, ikut-ikutan menolak menayangkan iklan layanan masyarakat yang berisi permohonan bantuan dana untuk para korban serangan Israel di Jalur Gaza. Alasannya sama dengan BBC, untuk menjaga netralitas pemberitaan.

''Memberitakan konflik di Gaza sungguh rumit dan penuh tantangan bagi organisasi pemberitaan,'' kata Direktur Sky News John Ryley seperti dilansir Associated Press kemarin (26/1). ''Komitmen kami sebagai jurnalis adalah meng-cover segala sisi dari peristiwa itu dengan menjunjung tinggi objektivitas."

Penolakan Sky News itu disambut protes sejumlah kalangan. Protes yang disampaikan bernada sama dengan yang dilontarkan ke meja redaksi BBC Minggu lalu (25/1).

''Sungguh memalukan. Mereka harus segera menayangkannya. Saya sangat kecewa kepada Sky. Mereka seharusnya sadar akan tugasnya sebagai stasiun publik,'' kata Jeremy Corbyn, seorang anggota parlemen dari Partai Buruh. Corbyn bersama sejumlah rekan sesama anggota dewan berencana menemui pimpinan eksekutif BBC kemarin untuk meminta jajaran redaksi mengubah keputusannya. Meski hasil pertemuan itu belum di-publish, BBC tampaknya akan tetap teguh pendirian.

Adrian Wells, direktur berita luar negeri Sky, mengaku paham dengan niat tulus penyelenggara amal untuk korban Gaza. ''Kepada mereka yang marah maupun tersinggung tentang ini, saya jelaskan, komitmen Sky memberitakan wilayah itu (Gaza) sangat jelas. Kami telah mengirim reporter sejak gerbang Gaza dibuka. Para pemirsa Sky juga sangat sadar dengan krisis kemanusiaan yang terjadi,'' katanya.

Iklan berdurasi dua menit itu merupakan kerja bareng 13 organisasi kemanusiaan di Inggris yang tergabung dalam Disaster Emergency Committee (DEC), termasuk Palang Merah, Oxfam, dan organisasi anak, Save the Children. Mereka bermaksud mengumpulkan dana untuk sekitar 500.000 warga Gaza yang kehilangan rumah sekaligus akses terhadap air bersih.

Selain BBC dan Sky News, kantor berita lain, seperti Channel 4, ITV, dan lainnya telah bersepakat akan menayangkan iklan layanan permohonan dana tersebut. Hingga kemarin, lebih dari 10 ribu surat komplain masuk ke kantor BBC. Legislator Partai Buruh, bahkan uskup besar dari Gereja Canterbury turut mengecam BBC.

''Ini bukan soal netralitas, ini soal kemanusiaan. Ini bukan acara yang digalang Hamas untuk bisa membeli senjata lagi, tapi oleh Disasters Emergency Committee (DEC/Komite Pertolongan Bencana) untuk membantu mereka yang membutuhkan pertolongan," kata Uskup Besar York John Sentamu seperti dilansir The Guardian.(ape)

Sementara itu..

[JP Online, Kamis, 29 Januari 2009]
Israel Terus Caplok Wilayah Palestina

JERUSALEM - Israel semakin dalam menancapkan kukunya di Tepi Barat yang sejatinya merupakan wilayah Palestina. Bahkan, kelak bisa menggusur warga Arab Palestina keluar dari rumahnya sendiri. Itu terlihat dari perkembangan permukiman Yahudi dari tahun ke tahun.

Data yang dirilis Peace Now, permukiman Yahudi di Tepi Barat jauh lebih luas dibandingkan pada 2007. Bangunan yang baru itu mencapai 1.518 -termasuk 216 pos pantau. Sekitar 61 persen bangunan baru tersebut didirikan di barat kawasan pagar perbatasan, dan 31 persen lainnya dibangun di wilayah timurnya.

Lebih dari 80 persen bangunan -- sekitar 1.257-- dibangun di wilayah permukiman yang sudah ada, bukan di wilayah baru. Dari jumlah bangunan itu, sekitar 748 bangunan dibuat model permanent, sementara 509 lainnya dibaut serupa karavan atau tenda-tenda kafilah. Total penduduk Yahudi di Tepi Barat pada 2008 terhitung sebanyak 285.800.

''Tampaknya permintaan pemerintah kepada Mahkamah Agung bahwa mereka dan pemukim bersepakat mengevakuasi yang di Migron dan memindahkannya ke permukiman Adam akan mendorong para pemukim untuk membuat bangunan di Migron. Sebab, jika relokasi dilakukan akan memakan waktu lama,'' tulis Peace Now seperti dikutip portal Israel Ynetnews.com.

Peace Now menyampaikan laporan itu untuk menyambut utusan Amerika Serikat untuk Timur Tengah, George Mitchell, yang dijadwalkan bertemu petinggi Israel hari ini. Ketika masih menjadi duta Timur Tengah untuk pemerintah Bill Clinton, Mitchell pernah bersuara lantang menyikapi pembangunan permukiman ilegal di daerah Tepi Barat yang merupakan teritori Palestina.

Pemimpin partai oposisi Likud Benjamin Netanyahu telah berkomitmen tidak akan membangun permukiman baru di Tepi Barat jika partainya menang pemilu Februari mendatang. Kecuali di tempat yang telah ada untuk menampung pertambahan jumlah populasi.(ape/ami)


Salam Persahabatan
ParaDIsE.group

Pertumbuhan Bank Syariah

Bank Bebas Ribawi
[JP Online, Selasa, 27 Januari 2009]

Bank Syariah Bisa Tumbuh 37 Persen, Target Aset Rp 68 Triliun

SURABAYA - Institusi keuangan syariah dianggap paling mampu bertahan dalam situasi krisis seperti saat ini. Salah satunya perbankan syariah yang masih optimistis akan tumbuh lebih besar dari perbankan konvensional. ''Berdasarkan asumsi-asumsi yang telah diformulakan dalam program grand strategy, ada tiga sekenario proyeksi pertumbuhan perbankan syariah nasional pada tahun 2009. Yang paling memungkinkan terjadi adalah skenario moderat, yakni pertumbuhannya akan mencapai 37 persen,'' kata Deputi Gubenur Bank Indonesia (BI) Siti Chalimah Fadjrijah dalam seminar The Challenge of Islamic Economics and Finance Facing Global Financial Crisis di Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga (Unair) kemarin (26/1).

Jika perkiraan pertumbuhan tersebut terjadi maka bank syariah di Indonesia di akhir tahun ini akan memiliki total aset Rp 68 triliun. Ini karena berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI) sampai November tahun lalu aset bank syariah nasional mencapai Rp 47,178 triliun.

Kata Fadjrijah, banyak hal yang mempengaruhi perbankan syariah tahun ini. ''Kontrol tidak murni ada di tangan BI, tetapi juga costumer, pelaku ekonomi, dan perbankan syariah itu sendiri,'' ungkapnya.

Namun demikian, kata dia, pertumbuhan perbankan nirbunga ini akan ditopang pengoperasian unit bank umum syariah (BUS) dua bank umum nasional, yakni Bank Bukopin dan Bank BRI. ''Dengan hadirnya dua BUS tersebut, tentu akan sangat signifikan untuk pertumbuhan bank syariah. Terlebih untuk BRI yang jaringan infrastrukturnya menjangkau hampir ke seluruh pedesaan di Indonesia,'' imbuhnya.

Sementara skenario lain adalah skenario optimistis. Yakni yang meproyeksikan perbankan syariah tumbuh 75 persen, dengan total aset di akhir tahun mencapai Rp 87 triliun di akhir tahun ini. ''Hal ini mungkin saja terjadi dengan berbagai alasan. Salah satunya efek multiplier dari pemilu yang berpngaruh positif terhadap perbankan syariah,'' ungkapnya. (luq/fan)

Salam Persahabatan
ParaDIsE.group

Free Blooger Templates

Free Blogger Templates





Salam Persahabatan
ParaDIsE.group

Mariana Bridi da Costa

Mariana Bridi da Costa
[JP Online, Minggu, 25 Januari 2009]
Finalis Miss World Brazil yang Diamputasi Tutup Usia

BRAZIL - Sirna sudah impian top model Brazil, Mariana Bridi da Costa, untuk memantapkan jejak kaki di panggung fashion dunia. Bakteri ganas pseudomonas aeruginosa merenggut nyawa model cantik dan berbakat yang baru berusia 20 tahun itu. Menjelang subuh kemarin (24/1), finalis Miss World dua tahun berturut-turut -2006 dan 2007- tersebut tutup mata untuk selamanya. Amputasi dua kaki dan tangan da Costa tak mampu menyelamatkannya dari maut.

''Sayang sekali, Mari tak lagi bisa bertahan. Dia mengembuskan napas pukul 03.00 tadi (kemarin, Red),'' kata Henrique Fontes, direktur eksekutif Miss World Brazil, dalam e-mail yang dikirim ke CNN kemarin.

Derita yang menjerat Mariana Bridi da Costa sungguh mengharukan. Berbekal fisik rupawan dan postur aduhai, dia berkali-kali memenangkan kontes kecantikan di negaranya. Bahkan, dia dua kali mewakili Brazil dalam ajang Miss World. Pada 2006, dia sukses menjadi yang terbaik dalam kategori pakaian renang. Setahun kemudian, dia menjadi terbaik keempat dalam dalam ajang pemilihan Miss World Pageant.

Mendadak roda kehidupan da Costa berbalik drastis sejak Desember 2008. Dia mengeluh sakit. Dokter mendiagnosis da Costa terkena infeksi saluran kencing. Sakitnya makin parah, bahkan berkembang menjadi septicemia. Penyakit karena infeksi bakteri tersebut mengakibatkan aliran darah ke otot-otot tak lancar dan melumpuhkan organ tubuh. Sejak itu, dia hanya bisa terlentang di rumah sakit Dorio Silva di Negara Bagian Espirito Santo, Brazil. Bahkan, untuk bernapas pun, dia harus dibantu dengan respirator yang ditancapkan ke hidung.

Kian hari tubuhnya tambah rapuh. Laju oksigen ke otot dan pembuluhnya makin terkikis. Hanya ada satu jalan agar jantungnya tetap berdetak, yaitu amputasi. ''Di mana ada detak jantung, di sana ada harapan,'' kata Thiago Simones, tunangan da Costa yang sehari sebelum kematiannya masih optimistis bahwa pacarnya itu bakal bangun dari koma.

Dokter lalu mengamputasi dua tangan sang model cantik tersebut. Namun, bakteri dalam tubuh da Costa kian ganas. Terpaksa, dua kakinya hingga sebatas tungkai turut dipotong. Tak hanya itu, beberapa bagian perut dan ginjal da Costa turut diamputasi untuk mengurangi pendarahan dalam tubuh.

Simoes merasa amat terpukul. Dia menceritakan kembali angan-angan yang hendak dijumput kekasihnya itu. Sejatinya, selangkah lagi asa da Costa bakal terwujud. Tak tanggung-tanggung, pemandu bakat terkenal, Dilson Stein, sudah siap mengorbitkannya. Dua model terdahulu, Gisele Bundchen dan Luize Altenhofen, sukses diantarkannya ke pentas model dunia.

''Semua agency tertarik kepadanya. Mereka pasti menyukainya karena memang dia cantik,'' kata Simoes.

Ketika sakit, simpati dunia mengalir deras kepada da Costa. Bahkan, situs yang diperuntukkan baginya sampai jebol karena diakses lebih dari 15 ribu pengunjung hanya dalam dua hari. Mereka yang bersimpati tak hanya dari Brazil, tapi juga Australia, Ukraina, Chechnya, Prancis, Italia, Amerika Serikat, dan Rusia.(ape/ami)

Foto-foto terkait lihat di Art and Pornography


Salam Persahabatan
ParaDIsE.group

Obama's Inaugural Speech

Obama's Inaugural Speech

Barack Obama was sworn in as the 44th president of the United States and the nation's first African-American president Tuesday. This is a transcript of his prepared speech. In his speech Tuesday, President Obama said America must play its role in ushering in a new era of peace. In his speech Tuesday, President Obama said America must play its role in ushering in a new era of peace.

I stand here today humbled by the task before us, grateful for the trust you have bestowed, mindful of the sacrifices borne by our ancestors. I thank President Bush for his service to our nation, as well as the generosity and cooperation he has shown throughout this transition.

Forty-four Americans have now taken the presidential oath. The words have been spoken during rising tides of prosperity and the still waters of peace. Yet, every so often, the oath is taken amidst gathering clouds and raging storms. At these moments, America has carried on not simply because of the skill or vision of those in high office, but because We the People have remained faithful to the ideals of our forebearers, and true to our founding documents.

So it has been. So it must be with this generation of Americans.

That we are in the midst of crisis is now well understood. Our nation is at war, against a far-reaching network of violence and hatred. Our economy is badly weakened, a consequence of greed and irresponsibility on the part of some, but also our collective failure to make hard choices and prepare the nation for a new age. Homes have been lost; jobs shed; businesses shuttered. Our health care is too costly; our schools fail too many; and each day brings further evidence that the ways we use energy strengthen our adversaries and threaten our planet.

These are the indicators of crisis, subject to data and statistics. Less measurable but no less profound is a sapping of confidence across our land -- a nagging fear that America's decline is inevitable, and that the next generation must lower its sights.
Today I say to you that the challenges we face are real. They are serious and they are many. They will not be met easily or in a short span of time. But know this, America: They will be met.

On this day, we gather because we have chosen hope over fear, unity of purpose over conflict and discord.

On this day, we come to proclaim an end to the petty grievances and false promises, the recriminations and worn-out dogmas, that for far too long have strangled our politics.
We remain a young nation, but in the words of Scripture, the time has come to set aside childish things. The time has come to reaffirm our enduring spirit; to choose our better history; to carry forward that precious gift, that noble idea, passed on from generation to generation: the God-given promise that all are equal, all are free, and all deserve a chance to pursue their full measure of happiness.

In reaffirming the greatness of our nation, we understand that greatness is never a given. It must be earned. Our journey has never been one of shortcuts or settling for less. It has not been the path for the fainthearted -- for those who prefer leisure over work, or seek only the pleasures of riches and fame. Rather, it has been the risk-takers, the doers, the makers of things -- some celebrated, but more often men and women obscure in their labor -- who have carried us up the long, rugged path toward prosperity and freedom.

For us, they packed up their few worldly possessions and traveled across oceans in search of a new life.

For us, they toiled in sweatshops and settled the West; endured the lash of the whip and plowed the hard earth.
For us, they fought and died, in places like Concord and Gettysburg; Normandy and Khe Sahn.

Time and again, these men and women struggled and sacrificed and worked till their hands were raw so that we might live a better life. They saw America as bigger than the sum of our individual ambitions; greater than all the differences of birth or wealth or faction.

This is the journey we continue today. We remain the most prosperous, powerful nation on Earth. Our workers are no less productive than when this crisis began. Our minds are no less inventive, our goods and services no less needed than they were last week or last month or last year. Our capacity remains undiminished. But our time of standing pat, of protecting narrow interests and putting off unpleasant decisions -- that time has surely passed. Starting today, we must pick ourselves up, dust ourselves off, and begin again the work of remaking America.

For everywhere we look, there is work to be done. The state of the economy calls for action, bold and swift, and we will act -- not only to create new jobs, but to lay a new foundation for growth. We will build the roads and bridges, the electric grids and digital lines that feed our commerce and bind us together. We will restore science to its rightful place, and wield technology's wonders to raise health care's quality and lower its cost. We will harness the sun and the winds and the soil to fuel our cars and run our factories. And we will transform our schools and colleges and universities to meet the demands of a new age. All this we can do. And all this we will do.

Now, there are some who question the scale of our ambitions -- who suggest that our system cannot tolerate too many big plans. Their memories are short. For they have forgotten what this country has already done; what free men and women can achieve when imagination is joined to common purpose, and necessity to courage.

What the cynics fail to understand is that the ground has shifted beneath them -- that the stale political arguments that have consumed us for so long no longer apply. The question we ask today is not whether our government is too big or too small, but whether it works -- whether it helps families find jobs at a decent wage, care they can afford, a retirement that is dignified. Where the answer is yes, we intend to move forward. Where the answer is no, programs will end. And those of us who manage the public's dollars will be held to account -- to spend wisely, reform bad habits, and do our business in the light of day -- because only then can we restore the vital trust between a people and their government.

Nor is the question before us whether the market is a force for good or ill. Its power to generate wealth and expand freedom is unmatched, but this crisis has reminded us that without a watchful eye, the market can spin out of control -- and that a nation cannot prosper long when it favors only the prosperous. The success of our economy has always depended not just on the size of our gross domestic product, but on the reach of our prosperity; on our ability to extend opportunity to every willing heart -- not out of charity, but because it is the surest route to our common good.

As for our common defense, we reject as false the choice between our safety and our ideals. Our Founding Fathers, faced with perils we can scarcely imagine, drafted a charter to assure the rule of law and the rights of man, a charter expanded by the blood of generations. Those ideals still light the world, and we will not give them up for expedience's sake. And so to all other peoples and governments who are watching today, from the grandest capitals to the small village where my father was born: Know that America is a friend of each nation and every man, woman and child who seeks a future of peace and dignity, and that we are ready to lead once more.

Recall that earlier generations faced down fascism and communism not just with missiles and tanks, but with sturdy alliances and enduring convictions. They understood that our power alone cannot protect us, nor does it entitle us to do as we please. Instead, they knew that our power grows through its prudent use; our security emanates from the justness of our cause, the force of our example, the tempering qualities of humility and restraint.

We are the keepers of this legacy. Guided by these principles once more, we can meet those new threats that demand even greater effort -- even greater cooperation and understanding between nations. We will begin to responsibly leave Iraq to its people, and forge a hard-earned peace in Afghanistan. With old friends and former foes, we will work tirelessly to lessen the nuclear threat, and roll back the specter of a warming planet. We will not apologize for our way of life, nor will we waver in its defense, and for those who seek to advance their aims by inducing terror and slaughtering innocents, we say to you now that our spirit is stronger and cannot be broken; you cannot outlast us, and we will defeat you.

For we know that our patchwork heritage is a strength, not a weakness. We are a nation of Christians and Muslims, Jews and Hindus -- and nonbelievers. We are shaped by every language and culture, drawn from every end of this Earth; and because we have tasted the bitter swill of civil war and segregation, and emerged from that dark chapter stronger and more united, we cannot help but believe that the old hatreds shall someday pass; that the lines of tribe shall soon dissolve; that as the world grows smaller, our common humanity shall reveal itself; and that America must play its role in ushering in a new era of peace.

To the Muslim world, we seek a new way forward, based on mutual interest and mutual respect. To those leaders around the globe who seek to sow conflict, or blame their society's ills on the West: Know that your people will judge you on what you can build, not what you destroy. To those who cling to power through corruption and deceit and the silencing of dissent, know that you are on the wrong side of history; but that we will extend a hand if you are willing to unclench your fist.

To the people of poor nations, we pledge to work alongside you to make your farms flourish and let clean waters flow; to nourish starved bodies and feed hungry minds. And to those nations like ours that enjoy relative plenty, we say we can no longer afford indifference to suffering outside our borders; nor can we consume the world's resources without regard to effect. For the world has changed, and we must change with it.

As we consider the road that unfolds before us, we remember with humble gratitude those brave Americans who, at this very hour, patrol far-off deserts and distant mountains. They have something to tell us today, just as the fallen heroes who lie in Arlington whisper through the ages. We honor them not only because they are guardians of our liberty, but because they embody the spirit of service; a willingness to find meaning in something greater than themselves. And yet, at this moment -- a moment that will define a generation -- it is precisely this spirit that must inhabit us all.

For as much as government can do and must do, it is ultimately the faith and determination of the American people upon which this nation relies. It is the kindness to take in a stranger when the levees break, the selflessness of workers who would rather cut their hours than see a friend lose their job which sees us through our darkest hours. It is the firefighter's courage to storm a stairway filled with smoke, but also a parent's willingness to nurture a child, that finally decides our fate.

Our challenges may be new. The instruments with which we meet them may be new. But those values upon which our success depends -- hard work and honesty, courage and fair play, tolerance and curiosity, loyalty and patriotism -- these things are old. These things are true. They have been the quiet force of progress throughout our history. What is demanded then is a return to these truths. What is required of us now is a new era of responsibility -- a recognition, on the part of every American, that we have duties to ourselves, our nation and the world; duties that we do not grudgingly accept but rather seize gladly, firm in the knowledge that there is nothing so satisfying to the spirit, so defining of our character, than giving our all to a difficult task.

This is the price and the promise of citizenship.

This is the source of our confidence -- the knowledge that God calls on us to shape an uncertain destiny.

This is the meaning of our liberty and our creed -- why men and women and children of every race and every faith can join in celebration across this magnificent Mall, and why a man whose father less than 60 years ago might not have been served at a local restaurant can now stand before you to take a most sacred oath.

So let us mark this day with remembrance, of who we are and how far we have traveled. In the year of America's birth, in the coldest of months, a small band of patriots huddled by dying campfires on the shores of an icy river. The capital was abandoned. The enemy was advancing. The snow was stained with blood. At a moment when the outcome of our revolution was most in doubt, the father of our nation ordered these words be read to the people:
"Let it be told to the future world ... that in the depth of winter, when nothing but hope and virtue could survive... that the city and the country, alarmed at one common danger, came forth to meet [it]."

America. In the face of our common dangers, in this winter of our hardship, let us remember these timeless words. With hope and virtue, let us brave once more the icy currents, and endure what storms may come. Let it be said by our children's children that when we were tested, we refused to let this journey end, that we did not turn back, nor did we falter; and with eyes fixed on the horizon and God's grace upon us, we carried forth that great gift of freedom and delivered it safely to future generations. (cnn.com)



Salam Persahabatan
ParaDIsE.group

Janji (di) Pidato Obama

Obama Janji Lebih Terbuka Kepada Umat Islam
[JP Online, Rabu, 21 Januari 2009]
Pidatonya Gabung Semangat Lincoln, Roosevelt, dan JFK

WASHINGTON D.C. - Tengah malam tadi presiden terpilih Barack Hussein Obama resmi menjadi presiden ke-44 Amerika Serikat (AS). Pelantikan presiden berkulit hitam pertama AS itu dilakukan di teras barat Gedung Capitol, gedung Parlemen AS yang dibangun dengan bantuan budak-budak dua abad lampau.

Obama mengawali agenda resmi pada hari paling sejarah dalam hidupnya itu dengan mendatangi Gereja St. John untuk berdoa bersama untuk selanjutnya menjemput Presiden George W. Bush di Gedung Putih pada pukul 10.00 waktu setempat. Dalam perjalanan dari Blair House, tempat Obama tinggal sementara di Washington D.C., Obama dan keluarga untuk kali pertama mengendarai mobil kepresidenan Cadillac One yang berjuluk "The Beast".

Bush dan istri, Laura, menyambut Obama dan istri, Michele, di serambi Gedung Putih. Michelle dengan balutan terusan warna hijau muda motif bordir batik yang dibungkus dengan mantel senada tampak anggun menggandeng kedua putrinya, Malia dan Sasha, yang memakai setelan dengan warna senada. Setelah berbasa-basi sebentar, rombongan Obama dan Bush bersama-sama melaju lokasi pelantikan Gedung Capitol di Pennsylvania Avenue.

Ratusan ribu orang yang bersiap-siap di sekitar lokasi sejak pagi buta melambaikan tangan dan bersorak-sorak ketika mobil limusin berwarna hitam Obama melaju pelan di jalan utara Gedung Putih sampai Gedung Capitol. Saat Obama kembali ke Gedung Putih usai dilantik menjadi presiden ke-44 AS, Bush dalam perjalanan pulang ke rumah peternakannya di Texas bersama mobil-mobil pengangkut barang.

Pukul 11.15 waktu setempat atau pukul 23.15 WIB rombongan Obama dan Bush tiba di Gedung Capitol. Mereka disambut oleh Senator Dianne Feinstein, ketua panitia pelantikan. Setelah mengikuti doa pelantikan dari Rick Warren, seorang pastor evangalis konservatif dan gelaran musik oleh Aretha Franklin acara inti inaugurasi yaitu pengambilan sumpah dimulai.

Tepat pukul 11.46 waktu setempat atau pukul 23.46 WIB, Joseph Biden disumpah lebih dulu sebagai wakil presiden baru AS. Sepuluh menit kemudian giliran Obama. Mantan senator berumur 47 tahun itu diambil sumpahnya di bawah Injil yang sama dengan yang digunakan Abraham Lincoln, presiden ke-16 AS yang Proklamasi Emansipasinya membebaskan perbudakan. Dengan jas hitam resmi, Obama menirukan bunyi sumpah yang dibacakan Ketua Mahkamah Agung AS John G. Roberts. "Saya dengan setia akan mengabdikan diri kepada rakyat Amerika sepenuh hati," bunyi salah satu sumpah Obama.

Setelah itu Obama menerima nuclear football, yakni sebuah koper hitam berisi kode nuklir AS untuk memerintahkan penggunaan senjata nuklir. 1.600 orang terdekat yang hadir di panggung pelantikan dan jutaan orang yang memadati pelataran Gedung Capitol hening saat momen itu terjadi.

Selanjutnya tepat tengah hari, Obama menyampaikan pidato pertamanya sebagai presiden AS. Dalam uraian selama 20 menit yang paling ditunggu-tunggu itu Obama menekankan dua tema, yaitu tanggung jawab dan akuntabilitas. Obama menegaskan, pemerintahannya akan memprioritaskan pemulihan ekonomi, penarikan pasukan AS dari Iraq, serta kode etik pemerintahan pada minggu-minggu pertama.

Obama mengatakan, Amerika terluka karena mentaliatas "yang pertama adalah saya" yang berkontribusi terhadap krisis ekonomi yang kini terjadi. "Karena itu, saya mengimbau siapa saja, khususnya perusahaan dan bisnisman, untuk mengambil tanggung jawab dengan aksi nyata," ujarnya.

Pidato itu disambut gegap gempita sekitar dua juta orang yang menjadi saksi langsung momen terbesar dalam sejarah AS itu. Mereka yang telah menunggu enam jam lebih di tengah udara dingin yang menggigit sejak matahari belum terbit itu, bertepuk riuh rendah sambil mengibar-ngibarkan bendera AS pada saat Obama mengakhiri pidato. Jutaan orang itu terdiri atas berbagai ras, wilayah, dan usia. Sebagian dari mereka bahkan terlalu muda dan terlalu tua.

Betty Bryant, 70, yang datang dengan bus carteran dari Georgia, saat ditemui di dekat Reflecting Pool di Alun-Alun Nasional (National Mall) menyatakan kebahagiaannya. "Saya sangat bahagia masih hidup untuk menyaksikan peristiwa yang indah ini," katanya. Di dekatnya sekelompok orang menyanyikan sebait lagu God Bless America.

Setelah pembacaan puisi oleh Elizabeth Alexander dan doa ucapan syukur yang dipimpin Joseph E. Lowery, Obama mengakhiri acara pelantikan dengan mengajak seluruh keluarganya naik ke atas panggung. Mereka bersama seluruh hadirin menyanyikan lagu kebangsaan diiringi Band Angkatan Laut "Sea Chanters." Setelah itu Obama mengantar mantan Presiden George W. Bush dalam sebuah upacara purnabakti sebelum menghadiri acara makan siang bersama pimpinan DPR dan Senat di Statuary Hall, Capitol.

Kemeriahan inaugurasi Obama mencapai puncaknya ketika parade berlangsung di Pennsylvania Avenue. Dipimpin rombongan Obama, arak-arakan berupa float hias yang mewakili 50 negara bagian bergerak megah dari Gedung Capitol menuju Gedung Putih. Lautan manusia menyaksikan parade besar yang mengantarkan Obama ke kediaman barunya sampai empat tahun ke depan. Di Gedung Putih, Obama dan keluarga menjadi tuan rumah untuk sepuluh jamuan resmi.

Upacara pelantikan tadi malam dan masih berlangsung pagi ini, menandai puncak karir politik alumnus SDN Menteng 01 Jakarta yang melesat. Dalam waktu kurang dari lima tahun, politikus Partai Demokrat tersebut bangkit dari senator yang sering diejek media karena "namanya yang lucu", sehingga menempati jabatan tertinggi di negara adidaya.

Kemenangan Obama banyak terbantu oleh meluasnya penyangkalan terhadap kebijakan-kebijakan Presiden George W. Bush yang meninggalkan Gedung Putih sebagai salah satu presiden AS tergagal dalam sejarah. Peringkat dukungan yang melonjak setelah serangan teroris 11 September 2001, terus merosot tajam akibat Perang Iraq, keterlambatan menangani Badai Katrina, serta krisis keuangan terakhir.

Dalam rentang kampanye 16 bulan, Obama berhasil meyakinkan rakyat Amerika. Meski dirinya relatif tidak berpengalaman, dia dapat memutar kembali roda perekonomian dan mengakhiri Perang Iraq. (AP/CNN/kim)

[JP Online, Selasa, 20 Januari 2009]
Pidato Obama Momen Paling Dinantikan

Washington - Barack Hussein Obama akan dilantik sebagai Presiden ke-44 Amerika Serikat (AS) dini hari nanti WIB. Disaksikan jutaan warganya dan puluhan juta pasang mata penduduk dunia, mantan Senator Illinois itu bakal resmi menjadi penguasa Gedung Putih pertama dari golongan Afro-Amerika.

Selain pengikraran sumpah, pidato pelantikan bakal menjadi momen penting yang paling dinanti-nantikan. Hingga hari ini, tulis The Christian Science Monitor, sudah 55 pidato pelantikan yang disampaikan presiden-presiden AS di Washington. Dan, selama ini, kata-kata pertama sang presiden terlantik itulah yang diabadikan dalam ungkapan-ungkapan politik. Karena itu, ada baiknya, Obama menyiapkan pidatonya dengan seksama.

Apa yang keluar dari mulut Obama hari ini, akan menjadi patokan masyarakat AS dalam memproyeksikan pemerintahan empat tahun ke depan. Beberapa ungkapan yang masih abadi sampai sekarang, misalnya frase milik Franklin D. Roosevelt, "Satu hal yang kita takuti adalah ketakutan itu sendiri." Atau kata-kata bijak John F. Kennedy tentang pengabdian yang berbunyi, "Jangan pernah tanyakan apa yang bisa negara lakukan untuk Anda."

Ungkapan-ungkapan yang diciptakan presiden terlantik biasanya lebih lekat di ingatan. Tidak seperti peribahasa atau ungkapan yang diajarkan di sekolah. Mudah menguap, walau baru beberapa detik didengar. "Sejarawan selalu menyebutkan empat hal yang sangat penting dalam pelantikan presiden. Saya rasa, (pidato Obama) bakal menjadi yang kelima," papar Gerald Shuster, pakar ilmu politik di University of Pittsburgh, kemarin (19/1).

Bagi Obama, merangkai kata-kata, barangkali, bukanlah hal yang sulit. Kemampuan komunikasi pemimpin 47 tahun itu, bisa dibilang, jauh mengungguli presiden-presiden sebelumnya. Kelebihan itulah yang menjadi salah satu kekuatan politiknya. Karena itu, momen wajib yang menjadi tradisi sejak era George Washington tersebut, akan menjadi tontonan paling menarik di hari pelantikan Obama. Apalagi, atmosfer sekeliling sangat mendukungnya menjadi tenar.

"Ini (ungkapan retoris sang presiden) sangat monumental," tulis pakar sejarah dari University of Illinois, Robert Remini.

Hal yang sama dipaparkan sejarawan Kean University, Terry Golway. Keduanya mengimbau hadirin yang menyaksikan pelantikan agar benar-benar mencermati pidato pertama Obama nanti. Bila perlu, hitung jumlah ungkapan yang dia ciptakan selama pidato. Sejarawan Leo Ribuffo meramalkan, Obama akan melahirkan sekitar 30-35 ungkapan.

Harus diakui, presiden masa kini punya lebih sedikit kesempatan untuk menjadikan saat-saat bersejarah mereka dikenang lebih lama. Dulu, para presiden terlantik membacakan pidato yang sudah mereka tulis lebih dulu. Selanjutnya, teks itu juga dipublikasikan. Jadi, hadirin bisa benar-benar mencermati kata demi kata yang terucap dalam pidato tersebut.

Teks-teks tertulis itu pun lantas menciptakan sejarahnya sendiri. Sebab, panjang-pendeknya teks dari periode ke periode bisa langsung dibandingkan. Sejauh ini, teks pidato William Henry Harrison saat dia dilantik tercatat sebagai yang paling panjang. Tapi, karena terlalu banyak menyisipkan opini dan argumen, teks terpanjang itu juga menjadi yang paling buruk.

Diawali dengan konser We Are One yang dihadiri satu juta warga di Lincoln Memorial and National Mall, pelantikan Obama menjadi momen istimewa yang sayang dilewatkan. Merintis jalan mulus pidato pelantikan Obama, sejumlah selebriti lebih dulu menyampaikan pidato mereka dalam perayaan itu. Diantaranya Tom Hanks, Samuel Jackson, Jack Black, Denzel Washington dan Usher. Konser itu juga diramaikan Shakira, Mary J. Blige, Jon Bon Jovi, dan Stevie Wonder. (hep/ttg)

[JP Online, Jum'at, 23 Januari 2009 ]
Perdamaian Timur Tengah Prioritas Utama Pemerintahan Obama
Agenda Pertama Obama, Langsung Telepon Pemimpin Palestina

WASHINGTON - Gegap gempita rangkaian perayaan pelantikan Barack Hussein Obama sebagai presiden ke-44 Amerika Serikat (AS) usai sudah. Rabu (21/1) waktu setempat (kemarin WIB), pemimpin 47 tahun itu mulai menjalankan agenda pertamanya sebagai kepala negara. Dia menelepon sejumlah pemimpin negara yang kini menjadi rekannya.

Telepon pertama Obama sebagai presiden ditujukan pada Pemimpin Palestina Mahmoud Abbas. Menyusul kemudian beberapa pemimpin Arab dan Timur Tengah yang lain. Diantaranya Presiden Mesir Hosni Mubarak, Perdana Menteri (PM) Israel Ehud Olmert, juga Raja Abdullah dari Jordania. Memposisikan perdamaian Timur Tengah sebagai prioritas utama pemerintahannya, Obama menegaskan dalam perbincangan teleponnya bahwa dia akan mengawali babak baru perdamaian dunia.

"Perbincangan telepon dengan para pemimpin Timur Tengah difokuskan pada sebuah komitmen aktif untuk mewujudkan perdamaian Arab-Israel sejak awal kepemimpinan," terang Humas Gedung Putih Robert Gibbs, seperti dikutip The Times dalam edisi onlinenya kemarin (22/1). Menurut dia, Obama juga berjanji mendukung penuh terciptanya permukiman Arab-Israel yang permanen.

Gibbs menambahkan, pasca agresi militer Israel ke Gaza yang berakhir Senin (19/1), Obama menempatkan perdamaian Timur Tengah sebagai prioritas utamanya. Tujuan utama presiden kulit hitam pertama AS itu adalah menciptakan gencatan senjata permanen. Tapi, seolah menghakimi Hamas, upayanya untuk mewujudkan perdamaian abadi itu bakal ditempuh dengan menciptakan rezim antipenyelundupan di Gaza. "Dengan demikian, Hamas tidak akan bisa dengan mudah mempersenjatai diri kembali," ujar Gibbs.

Selain itu, pemerintahan Obama bakal melakukan pendekatan diplomatis terhadap Otoritas Palestina. Salah satu caranya dengan memfasilitasi rekonstruksi pemerintahan baik secara fisik maupun mental. Menurut harian nasional Inggris itu, upaya tersebut merupakan bagian dari skenario Obama dalam menerapkan perspektif baru tentang perdamaian di sana.

Langkah kedua yang segera ditempuh Obama demi mewujudkan perdamaian Arab-Israel adalah menunjuk utusan. Dalam waktu dekat dia akan memilih sendiri diplomat yang diyakini bisa menjadi kurir damai Timur Tengah. Rumor yang beredar menyatakan, tokoh Partai Demokrat itu akan menjatuhkan pilihan pada mantan senator George Mitchell. Di bawah pemerintahan Presiden AS terdahulu Bill Clinton, Mitchell juga pernah menjabat posisi sama.

Di hari pertamanya sebagai presiden Rabu (21/1), Obama menunda seluruh persidangan teror yang melibatkan para tersangka di penjara Teluk "Gitmo" Guantanamo, Kuba. Kemarin (22/1), Obama dijadwalkan meneken sejumlah surat perintah eksekutif tentang penutupan Gitmo. Rencananya, penjara dengan sistem pengamanan berlapis itu ditutup dalam kurun satu tahun. "Ini semua dilakukan demi kepentingan keamanan nasional dan kebijakan luar negeri, serta demi tegaknya keadilan," papar sumber The Times.

Agenda penting Obama yang lain terkait Timur Tengah adalah penarikan pasukan dari Iraq. Presiden keturunan Kenya itu menyiapkan sejumlah berkas untuk memerintahkan penempatan ulang pasukan AS yang ada di Iraq ke Afghanistan. Rencana itu dibahasnya bersama Menteri Pertahanan Robert Gates serta Kepala Staf Gabungan Laksamana Mike Mullen, Komandan Timur Tengah Jenderal David Petraeus, dan sejumlah anggota dewan keamanan nasional. (hep/ami)

Sementara itu..
Hillary Utamakan Dialog di Deplu AS

WASHINGTON - Hillary Rodham Clinton mulai menjalani hari-hari pertamanya sebagai menteri luar negeri Amerika Serikat (AS) menggantikan Condoleezza "Condi" Rice. Sesuai tema perubahan yang diusung pemerintahan Presiden Barack Obama, politikus 61 tahun itu pun mereformasi Departemen Luar Negeri (Deplu), menjadikannya lebih luwes.

Sejak resmi berkantor di Deplu Kamis (22/1), Hillary menerapkan kebijakan yang lebih fleksibel. Dia menjadikan dialog dan keterbukaan sendi kehidupan di kementerian yang dipimpinnya tersebut. Istri mantan Presiden Bill Clinton itu juga menjanjikan kebijakan luar negeri AS tidak akan lagi bernapas militer, tapi diplomasi, pertahanan, dan pembangunan. "Ini menandai kelahiran era baru Amerika," tegasnya seperti dikutip Agence France-Presse kemarin (28/1).

Dalam jumpa pers pertamanya Selasa siang waktu setempat (dini hari kemarin WIB) (27/1), ibu satu anak itu mengakui kehancuran Washington. "Ada banyak kerusakan yang harus segera diperbaiki dalam pemerintahan," tandasnya. Untung, posisi George W. Bush sudah digantikan Obama. Dengan demikian, borok yang diwariskan pemerintahan Bush bisa segera dibasmi.

Sepekan menjabat sebagai Menlu, Hillary sudah melakukan pembicaraan telepon dengan sekitar 37 tokoh dunia. Baik presiden, perdana menteri (PM), maupun Menlu. Dia mengaku lega karena sebagian besar pembicaraan telepon itu mengindikasikan dukungan kuat terhadap pemerintahan Obama.

Hillary juga menyarankan Obama menggunakan pendekatan yang sama untuk menghadapi Iran. Sebab, pendekatan yang berbeda hanya akan membuka lebar kesempatan Iran mengembangkan program nuklirnya. "Pendekatan yang sifatnya lebih terbuka terhadap Iran hanya akan menguntungkan mereka," tegasnya seperti dikutip Associated Press.

Dia khawatir, wawancara Obama dengan stasiun televisi Arab awal pekan ini bakal menjadi senjata Iran untuk memaksakan aktivitas nuklirnya. Menurut dia, dalam wawancara itu, Obama secara tidak langsung berjanji akan lebih terbuka pada Iran. "Jelas ada peluang bagus yang ditangkap Iran dalam wawancara presiden. Sebab, Obama menyatakan bahwa AS akan lebih terbuka terhadap dunia internasional dan merangkul muslim," ungkap Hillary.(hep/ttg)[JP Online, Kamis, 29 Januari 2009]

Soal Iran, Obama Tak Beda dengan Bush

WASHINGTON - Politik luar negeri Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Barack Obama, tampaknya, tak akan mengalami perubahan signifikan dibanding pendahulunya, George W. Bush. Terutama sikap politik terhadap penentang utama di Timur Tengah, Iran. Menurut juru bicara kepresidenan, Obama tetap akan mengerahkan seluruh kekuatan nasional Amerika Serikat, mulai diplomasi hingga perang, untuk menekan program nuklir Iran. Opsi tersebut serupa dengan yang diungkapkan mantan Presiden Bush.

''Banyak isu yang harus ditangani, salah satunya program nuklir haram. Presiden harus menegur pemimpin Iran karena mensponsori terorisme dan mengancam perdamaian di Israel,'' kata Juru Bicara Obama, Robert Gibbs, seperti dilansir Reuters kemarin (30/1).

Dalam kesempatan itu, Gibbs menyangkal berita dari surat kabar Inggris yang menyebutkan bahwa Obama dan Kementerian Luar Negeri pimpinan Hillary Clinton berencana mengirimkan surat kepada Iran untuk mendinginkan tensi kedua negara selama lebih dari 30 tahun belakangan. ''Baik presiden maupun menteri luar negeri tak pernah membuat surat itu. Jadi, isu itu harus berhenti sampai di sini," katanya.

Ketegangan hubungan Iran dan Amerika Serikat memuncak pada masa pemerintahan Bush. Presiden AS dua periode tersebut menepikan Iran dari komunitas internasional dengan menyebutnya sebagai ''poros setan" bersama Korea Utara dan Iraq yang kala itu masih dikuasai Saddam Hussein.

Selama masa kampanye presiden, Obama menjanjikan sejumlah insentif kepada Iran jika sudi meninggalkan proyek nuklirnya. Salah satunya, dipermudah menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Namun, Obama juga menebar ancaman jika Iran menolak saran itu. Yakni, memperparah tekanan ekonomi dan makin dikucilkan dari pergaulan internasional.

Dalam wawancara televisi pertama, termasuk pidato pelantikan, Obama mengatakan akan membuka tangan bagi Iran jika negara itu bersedia melepaskan ''kepalan tangan".

Meski demikian, pemerintahan Obama berjanji akan lebih mengedepankan diplomasi ketimbang perang. ''Sebagaimana yang disebutkan presiden di masa kampanye, langkah diplomasi juga terbuka,'' ujar Gibbs.

Di tempat terpisah, Kementerian Luar Negeri Iran mengaku siap bekerja sama untuk memperbaiki hubungan dengan pemerintahan baru Amerika Serikat. ''Jika Obama mengubah kebijakan terdahulu, dia pasti disambut baik oleh dunia Islam,'' kata Menteri Luar Negeri Iran Manouchehr Mottaki di sela pertemuan Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss.(ape/ttg)[Sabtu, 31 Januari 2009]


Salam Persahabatan
ParaDIsE.group